Kontak Kami

Kami ucapkan Terimakasih sebesar-besarnya kepada teman-teman yang telah meluangkan waktunya untuk datang dan bergabung disitus ini.

kami berharap partisipasi teman-teman dalam pembangunan Situs ini dapat Bermanfaat bagi Mereka Yang telah membaca dan Menuangkan kisah mereka di situs ini.

kami sangat mengaharapkan sekali partisipasi teman-teman, dan jika teman-teman ingin menuliskan kisahnya disitus ini. kami dan segenap pihak-pihak yang terkait didalamnya akan sangat menerimanya dengan lapang dada.

silahkan kontak email kami jika teman ingin agar kisah teman dapat dilihat disitus ini.
kisahku872@yahoo.com




 Salam Hangat Dari Kami




Alfin Syafrizal
Owners


 

Mawar Merah


Kamar kosong dengan laptop menyala lagu padi-kasih tak sampai ku biarkan mengiringi kepedihan hatiku,
entah apa yang ku tuliskan ,
entah apa yang ku gores dengan penah di tanganku ini.agar mereka mengerti,supaya mereka sadar aku juga wanita biasa yang butuh kasih sayang.

Namanya Radit,pria aneh yang mengejar _ngejarku,pikiranku...waktu ku .dengan seribu janji dan beribu rayuan aku terjebak lagi pada cinta terlarang ini. Karna Radit hanya menjadikan aku orang kedua bagiku.cinta pertamanya Jesika.

Berkali_kali aku menghindar dengan ganti no hp dan memblokirnya dari akun fbku. Tapi entah bagaimna caranya.mungkin lewat teman_temanku atau dukun. Entahlah...dengan mudahnya,seenaknya dia datang dengan bunga di tangan dan berlutut,memohon aku menerima cintanya,
aku pun tak kuasa menghindar dari cinta yang akupun ingin merasakan kehadirannya dalam hidupku.

Entah bodoh.atau aku yang terlalu tolol untuk menghindarinya.akupun menerima cinta Radit.

Dan tiga bulan selanjutnya yang terjadi.aku di labrak Jesika,di kampusku sendiri,aku di tentang,di katain dengan kata_kata kasar.dan itu di depan teman_temanku,entah dimna lagi aku menyembunyikan rasa maluku.

Akupun berharap ada penjelasan lebih dari Radit,yang ada aku di pojokan.aku di tuduh,mendekatinya,mencoba memohon cintanya. Disitu aku tak punya pilihan,selain terdiam dengan seribu bhasa. Radit yang aku harapkan untuk menolongku,ikut menyalahkanku,seakan aku yang terlalu mengejarnya.

Di sore hari nan sepi,aku tak bisa lagi menyembunyikan tangisku.
dikamar aku termenung sendiri dngan linangan air mata dusta.
menyalahkam diriku.

Suara bel berbunyi,aku menghapus air mata di kedua pipiku,mencuci muka dan mendekati pintu.
Jantungku berdebar kencang,entah harus memeluknya atau menamparnya.
Radit berdiri dengan sebuah bunga lagi dan sebuah kotak merah di tanganya.
Kami terdiam saling memandang untuk sebentar lamanya.

Aku mencoba menutup pintu,mengintip dari jendela sosok itu belum juga pergi.
aku menyibukan diri,seakan tak mengangapnya ada dan mencoba menepis keraguanku untuk secepatnya memeluknya.antara cinta dan benci melandaku. Mungkin hampir 2 jam ia menunggu di depan pintu.
hujan di luar derasnya.
dan yang terjadi.aku smakin luluh,rasa cinta,kasihan dan benci berlari menusuk otak ku, aku berlari dan membuka pintu serta memeluk tubunya erat.
"maafkan aku Mayang,akupun tak nisa menghindar dari Jesika,tapi begitupun dirimu,sungguh aku binggung harus menentukan."kata Radit terisak.

Beribu kata aku terdiam dan menunggu hal yang selanjutnya.kami berpelukan lama di bawah rintik hujan membawa semua tangisku.luluhkan lagi hatiku yang beku. "jahat sekali Radit,kenapa tega kau membuatku menangis"kataku yang di respon Radit dngan belaian hangat di rambutku

Aku diam_diam kembali pacaran dngan Radit,tentunya aku hanya jadi pacar kedua Radit,kadang aku juga ingin menjadi yang pertama,merasakan cinta yang katanya indah. Aku berusaha menjadi kekasih yang baik bagi Radit,walau yang kedua. Jesika kenapa tak melepaskan Radit saja,akupun wanita yang ingin merasakan cinta. Jahat sekali Jesika.

Cinta ku sedalam lautan,setinggi langit di angkasa,seandainya saja Radit dapat merasakan getarannya.

Hari demi hari sampai hampir 5 bulan,kami diam_diam pacaran tanpa sepengetahuan Jesika,dan kehangatan itu sirna,setelah Jesika membaca sms mesra yang ku kirim ke hp Radit.

"Ya, untuk terakhir kalinya ku berjanji tak akan lagi berhubungan dngan Radit,setelah tamparan dan cacian nakal yang tak sepantasnya di lontarkan mahasiswa seperti Jesika,tapi aku juga bisa mengerti kegelisahan hatinya,rasa cintanya pada Radit.

Apalagi dengan entengnya,dengan mudah Radit memaksaku untuk berbohong kalau aku yang membelikannya cincin serta mencoba memisahkan kehangat di antara dia dan Jesika.

Aku pergi dalam diam.termenung sendiri,setelah sakit hatiku,kata kasar dan tamparan deras membirukan pipiku,membuatnya mendapt beberapa jahitan,aku ingin melawan,tapi disaat itu,orang yang kusayangi balik menyerangku,menuduh,mencaci maki dengan segala tingkah nakal yang membuat kekuatan ku sirna.

Aku hanya terdiam bagai orang bodoh,merasakan setiap tikaman dan derasnya rasa sakit,piluh menghuni mendera tubuhku.

Di kamar kosong ini,lagu padi telah berakhir dengan matinya listrik,

Aku melangkah pergi ke pintu,mengintip seseorang wanita berdiri
Aku membuka pintu,dan wanita itu menyerahkan sebuah surat undangan Radit dan Jesika.

Aku terdiam tanpa makna,berdiri terpaku penuh emosi.
entah kapan wanita itu pergi,
aku menutup pintu,lebih tepatnya di banting.

Aku berlalu di depan pernikahan Radit dan Jesika ,mengintip kehangatan mereka dari balik persembunyian dengan kerudung hitam.
Melangkah pergi dalam duka.
menunggu keajaiban tuhan.
untuk memulihkan hatiku yang sepi
memberinya sedikit kehangatan.

Bagaimana posisimu di Radit??
bagaimana posisimu di Jesika??
bagaimana posisimu di mayang??

Berikan komentarmu,karna komntar sangat membantu memulihkan rasa trauma dan rasa sakit mayang.

Thx

Alfred
alfredpandie@yahoo.com

Jiwa yang Lain (oleh Dina Á-Norn Nasution)

Mungkin tak pernah dibayangkan oleh Dania bahwa ia akan mengalami hal ini. Duduk diam di dalam sebuah ruangan, terbalut jubah pasien menunggu seorang psikiater menggali masa lalunya mencari-cari apa penyebab ia menjadi seperti ini. Semua ini bermula sekitar enam bulan yang lalu, yah, sebenarnya kalau mau dirunut lebih jauh, semua ini disebabkan sejak bertahun-tahun yang lalu, ketika Dania masih TK atau mungkin bahkan jauh sebelum ia masuk TK.



Dania adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia memiliki kakak laki-laki yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Orang tua Dania lebih mengutamakan anak laki-laki dibanding anak perempuan sehingga Dania harus selalu mengalah pada kakaknya walaupun ia lebih kecil. Tiap kali Dania melakukan kesalahan, orang tuanya akan langsung memarahinya sedangkan jika kakaknya yang melakukannya, mereka hanya akan diam atau hanya memarahinya sekedar saja. Kakak laki-laki Dania sadar betul bahwa ia adalah anak kesayangan dan hal ini membuatnya selalu menindas Dania. Jika Dania membalas, ayah atau ibunya pasti akan menghukumnya dan jika ia mengadu, orang tuanya hanya akan berkata, “Kakakmu kan cuma main-main, jangan cengeng dong.” Perlakuan ini tentu saja membuat Dania kecil merasa sangat tidak berharga dan membuatnya memiliki sikap penakut dan pengalah, dan karena hal itu pula, diam-diam Dania sering berharap bahwa ia adalah anak laki-laki agar orang tuanya sayang juga padanya seperti mereka menyayangi kakak laki-lakinya

Dania kecil tak pernah punya teman. Itu karena ia memang seorang anak kecil pendiam yang tak pandai bergaul dan ini sering membuatnya dijauhi dan kesepian. Terkadang ia ingin sekali bergabung dengan teman-temannya yang sedang asik bermain, tapi ia terlalu takut, atau mungkin lebih tepat malu. Setiap kali ada yang mengajaknya bermain, Dania malah berlari dan bersembunyi sambil mengintip dari kejauhan. Melihat tingkah anehnya ini, para anak laki-laki sering mempermainkan Dania. Mereka akan menakut-nakutinya dengan cerita hantu yang kadang akan membuat Dania menangis atau bahkan lebih parah lagi mengompol. Sejak itu ia sering dijuluki Dania si Tukang Ngompol. Dania yang malang.

Ketika SD, Dania bertekad berubah. Ia tidak ingin dipanggil Dania si Tukang Ngompol lagi. Ia berjanji pada dirinya bahwa ia akan berusaha berbaur dengan siapapun dan tidak jadi penakut lagi. Pada saat kelas satu hingga kelas tiga semuanya berjalan normal. Dania mungkin tidak memiliki banyak teman, tapi setidaknya ia tidak selalu sendirian lagi dan ia tidak jadi bahan olok-olokan di sekolah itu, hingga suatu hari di pertengahan kelas tiga, seseorang dari masa lalunya pindah ke sekolah itu. Namanya Nina. Ia adalah salah satu teman Dania ketika di TK dulu. Dania panik, ia takut rahasianya terbongkar dan seisi sekolah akan menghinannya lagi seperti dulu.

Setelah memperkenalkan diri, sang wali kelas menyuruh Nina memilih tempat duduknya. Saat itu memang ada tiga kursi yang kosong, setelah Nina melihat pada ketiga kursi tersebut, ia tersenyum ketika melihat Dania. Ia ingat pada Dania dan tanpa pikir panjang langsung duduk di bangku di depan Dania.

“Hai,” sapanya ramah. “Kau Dania kan? Masih ingat aku? Aku Nina temanmu di TK dulu.

“Y...ya,” jawab Dania gugup. “Tentu saja aku ingat.”

Ketika bel istirahat berbunyi, semua teman sekelas Dania mengerumuni Nina. Nina memang cantik dan ia pandai bergaul jadi tak sulit baginya mendapatkan teman. Dalam sekejap ia sudah mendapatkan banyak teman, bahkan teman sebangku Dania yang sudah ia anggap sebagai sahabat pun lebih memilih bermain dengan Nina. Sekarang Dania sendirian lagi karena semua sibuk mengerumuni Nina. Dania hanya bisa pasrah.

“Tukang ngompol!” Tiba-tiba pada suatu hari Dania dikejutkan oleh ejekan itu. Ternyata salah satu teman sekelasnya yang menghinanya. Dania kaget bukan main. Awalnya ia mengira bahwa ia salah dengar, tetapi tak lama temannya yang lain ikut-ikutan menghinanya. Dania panik. Ia pun berlari keluar kelas sambil menangis.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, membuat Dania kaget. Ternyata Nina yang menghampirinya.

“Maaf ya,” katanya lembut dengan nada penuh penyesalan. “Aku ga nyangka kalau bakal jadi kayak gini. Aku waktu itu cuma cerita tentang masa-masa di TK aja dan ga sengaja bilang kalau kamu dulu tukang ngompol. Maafin aku ya.”

Dania menyeka air matanya dan tersenyum. “Ga pa-pa,” katanya. “Ga pa-pa.”

Sejak saat itu, Dania dan Nina selalu bersama-sama, tapi mereka tidak tampak seperti sepasang sahabat, melainkan seperti pembantu dan majikan. Nina sering minta tolong ini-itu pada Dania dengan cara bicaranya yang memelas dan manis, dan Dania akan selalu menurutinya walaupun hati kecilnya sebenarnya tidak ingin melakukannya. Dania benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terlalu takut untuk marah pada Nina karena semua orang menyukai Nina, dan itu berarti jika Dania memusuhi Nina, maka ia akan dimusuhi semua orang.

Pada saat masuk SMP, Dania tak juga lepas dari cengkeraman Nina. Nina memilih masuk SMP yang sama dengan Dania dan bahkan ia merengek pada orang tuanya agar meminta pada kepala sekolah supaya ia dimasukkan pada kelas yang sama dengan Dania. Sebenarnya alasannya sederhana, Dania pintar dan Nina sudah biasa mencontek padanya. Maka Dania yang tampak seperti kerbau yang dicucuk hidungnya hanya bisa menjadi bayang-bayang Nina. Seperti biasa Nina selalu menjadi yang disukai oleh semua orang dan sekarang ia juga jadi kesayangan guru karena ia selalu bisa menjawab pertanyaan guru dan nilai ujiannya bagus-bagus, tentu saja atas bantuan Dania.

Dania yang semakin terpuruk hanya bisa diam, tapi itu hanya di luarnya saja. Jauh di dalam pikirannya, ia menciptakan seseorang yang bisa melindunginya. Ia memberi nama tokoh tersebut Dea T.H. Dalam bayangannya Dea adalah seorang perempuan tangguh yang tidak takut apapun dan hampir selalu menggunakan bahasa Inggris jika sedang berbicara. Dalam pikirannya ia membuat Dea sebagai sosok yang egois, kuat, pemberani, tidak perduli pada apapun dan siapapun, tidak takut pada apapun dan siapapun dan juga kejam. Dengan Dea inilah Dania sering memainkan percakapan. Setiap kali Dania merasa takut atau lemah, maka ia akan memunculkan sosok Dea dalam benaknya. Dea akan memarahinya dan menyuruhnya agar ia berani dan juga agar ia mau berusaha untuk membela dirinya. Dea juga sangat membenci Nina, hal yang tidak pernah berani dilakukan oleh Dania.

Semakin lama pengaruh Dea semakin besar. Tiap kali Dania ada masalah dan kemudian menangis, Dania akan memunculkan Dea yang pastinya akan memarahi kelemahan Dania. Tak ada yang mengetahui perihal Dea bahkan orang tua Dania sekalipun. Bagi Dania Dea adalah teman terbaiknya. Dania sadar bahwa Dea hanya khayalannya saja, tapi seiring waktu, Dea seolah menjadi kian hidup dan nyata dan Dania sangat menikmati keberadaan Dea.

Sekarang Dania sudah duduk di kelas dua SMA. Ia masih bersama-sama dengan Nina. Sampai kapanpun sepertinya Nina tidak ingin melepaskan Dania. Kemana Dania pergi, pasti Nina selalu ada. Sialnya Nina bukannya membawa peran positif tapi negatif dan cenderung merusak. Nina adalah seorang kleptomania yang suka sekali mencuri benda-benda kecil terutama lipstik dan setiap kali melakukan aksinya, ia akan menyuruh Dania manyimpan barang curiannya. Dania ingin sekali mengatakan ‘tidak’ tapi selalu saja kata itu tertahan di tenggorokannya dan tidak jadi keluar. Dania takut sekali jika nanti ia yang akan kena getahnya. Setiap kali Nina menyuruh Dania mengantongi barang curiannya, Dania selalu berteriak dalam hati berharap Dea akan keluar dan membantunya mengatakan ‘tidak mau’ hanya itu yang ia inginkan, tapi bagaimanapun Dania akhirnya sadar bahwa Dea hanya imajinasinya dan ia sendirian dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi dirinya.



Suatu hari pada awal semester dua di kelas tiga, Nina mengajak Dania pergi ke mall sepulang sekolah. Dania sudah bisa menebak bahwa Nina ingin melakukan hobinya lagi dan seperti biasa, Dania hanya bisa menganggukkan kepalanya walau dengan enggan seperti seseorang yang sedang terhipnotis.

Ketika tiba di mall, Nina langsung menuju konter kosmetik dan melihat-lihat lipstik yang ada di konter tersebut. Matanya langsung menyorotkan kerakusan ketika melihat lipstik-lipstik yang terpajang tersebut. Dania yang pasrah hanya bisa berjalan menunduk di samping Nina. Dalam hati dia menjerit memanggil Dea. Ia tahu Dea tak akan pernah datang, tapi ia tetap menjerit dan terus menjerit. Seketika lamunannya buyar dan ia kembali pada kenyataan ketika sebuah benda kecil mendarat di genggamannya. Ternyata Nina sudah mengambil lipstik yang ia inginkan dan sekarang telah ia berikan pada Dania untuk dikantongi oleh Dania.

Dania dan Nina bersiap-siap pergi hingga tiba-tiba seorang satpam menggenggam erat lengan Dania.

“Ada apa ini pak?” tanya Dania kaget. Keringat dingin pun membasahi pelipisnya ketika tahu bahwa ia di tangkap oleh satpam.

“Saya tadi melihat adik memasukkan sebuah benda kecil yang belum dibayar yang saya duga adalah lipstik,” tuduh satpam itu datar.

“Bapak jangan mengada-ada,” bela Nina. Dania merasa senang sekali karena Nina mau membelanya.

“Ikut saja dulu ke kantor untuk pemeriksaan,” kata satpam tersebut sambil menyeret Dania. Nina pun mengikuti mereka dari belakang dengan perasaan was-was.



**********



“Ini apa?” tanya sang satpam sambil mengacungkan lipstik curian Nina tanpa belas kasihan ketika ia melakukan pemeriksaan di ruangannya. “Masih mau mengelak?”

“Tapi itu bukan...”

“Maafkan teman saya, Pak,” Nina memotong pembelaan Dania. “Saya sudah mencoba mengingatkannya untuk tidak melakukan hal itu, tapi tidak bisa. Dia punya penyakit kleptomania, Pak. Saya mohon maafkan dia, Pak. Dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya.”

Kontan saja sekujur tubuh Dania jadi dingin. Rasanya darahnya turun hingga ke kakinya. Nina sudah berbohong dan melimpahkan kesalahannya pada Dania. Sekali lagi Dania membuka mulutnya mencoba untuk membela dirinya tapi Nina langsung menggenggam erat tangannya dan menatapnya dengan pandangan memelas yang diartikan oleh sang satpam dengan tatapan prihatin.

“Baiklah,” kata satpam tersebut pada Dania. “Saya akan melepaskan kamu, tapi kamu harus menyuruh orang tuamu datang kesini sekarang juga untuk memberikan jaminan.”

Dania terbelalak kaget. Tak bisa ia bayangkan bagaimana marah dan kecewanya orang tuanya nanti jika tahu bahwa Dania mencuri, perbuatan yang bahkan sama sekali tidak ia lakukan. Ia ingin berteriak mengatakan yang sebenarnya tapi tetap tidak bisa sehingga ia pun akhirnya hanya bisa menangis. Nina yang duduk di sampingnya hanya bisa mengusap punggung Dania sambil menunjukkan ekspresi keprihatinan palsu. Dalam hati ia merasakan kelegaan yang luar biasa karena ia terbebas dari hukuman. Tidak salah selama ini ia membawa Dania setiap kali ia ingin melakukan aksinya. Nina tahu Dania tidak akan berani membantahnya sehingga iapun selalu memanfaatkan kepengecutan Dania untuk kepentingan pribadinya.

Di rumah Dania dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya, parahnya lagi, kakaknya ikut-ikutan memanas-manasi kedua orang tuanya sehingga ia semakin terpojok. Dania tidak mau bersusah payah mengeluarkan pembelaan karena ia tahu apapun yang ia ucapkan pasti tidak akan merubah keadaan. Setelah puas memarahi Dania, ayahnya pun menyuruh Dania masuk kamar untuk merenungkan perbuatannya.

Di kamarnya Dania berhenti menangis. Ia duduk menyandar pada tembok di atas tempat tidurnya sambil menatap kosong. Dalam keheningan tiba-tiba ia mendengar seseorang mencemoohnya.

“You stupid girl!” kata suara itu.

“Dea?” tanya Dania tidak yakin.

“Yeah, it’s me moron!” jawab suara itu lagi dengan ketus.

“Ga mungkin!” Dania menggelengkan kepalanya. “Kau hanya imajinasiku saja! Kau tidak nyata!”

“Yeah, but I’m better than you,” jawabnya lagi dengan sombong. “I’m much better!”

“Kalau kau memang lebih baik, kenapa kau tidak muncul saat kubutuhkan?” tanya Dania frustasi. “Kenapa kau malah muncul sekarang? Kau juga pengecut! Seharusnya kau datang menolongku tadi!”

“You never let met to do that, remember?” jawab suara itu lagi. “You just called me but never wanted me!”

“Kau salah!” jawab Dania lantang walau dalam bisikan. Ia tidak ingin orang tuanya mendengar ia bicara sendirian. “Aku selalu membutuhkanmu, tapi sekarang tidak lagi! Pergi sana!”

“Suit yourself,” jawab Dea dengan nada tidak peduli. “But remember, one day, I’ll take charge and I’ll vanish you!”

“Coba saja kalau berani!” tantang Dania, namun tak ada lagi jawaban.



Berita tentang tertangkapnya Dania yang sedang mengutil tersebar dengan cepat di sekolah seperti wabah Black Death menjangkiti Eropa. Hampir semua orang tahu kejadian itu, dan tentu saja Nina si biang kerok tidak mau berusaha meluruskan cerita tersebut. Ia menikmati perlakuan kagum dari teman-teman sekelas mereka karena ia sudah berusaha membela Dania di hadapan satpam. Entah siapa yang menyebarkan cerita itu, tapi Dania yakin, Nina lah yang sudah menceritakannya dan akhirnya cerita itu menyebar dari mulut ke mulut.

“Eh, si pencuri dah datang!” seru salah seorang teman sekelas Dania dan Nina dengan nada mengejek yang sangat kentara. “Jaga tas kalian, nanti ada barang-barang yang hilang lagi.”

“Orang tuamu terlalu miskin ya makanya kau tidak bisa membeli barang semurah itu?” cemooh yang lainnya. Dania hanya bisa diam dan menunduk di bangkunya.

“Ga seharusnya deh dia dibiarin sekolah disini lagi,” terdengar bisikan-bisikan dari murid-murid lainnya.

“Kok kau masih mau berteman dengan dia sih?” tanya seorang murid. “Kan cuma bikin malu aja berteman dengan seorang maling kampungan kayak dia.”

“Sudah!” seru Nina dengan lagak heroik. “Kalian tidak boleh menghina Dania seperti itu! Dia tidak sepenuhnya salah. Dia punya kelainan di otaknya dan itu bukan kejahatan. Kita sebagai temannya seharusnya membantunya agar kembali ke jalan yang benar, bukan menjauhinya!”

“Tapi tetap aja kita harus mewaspadainya,” komentar salah satu murid.

“Walaupun begitu...”

Seketika seluruh suara terasa senyap bagi Dania. Ia tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Kepalanya pusing dan pandangannya seolah kabur. Saat itu pula tak disangka Dania berdiri dengan sigap dan berjalan menghampiri Nina yang masih mengoceh, lalu setelah itu ia mendaratkan bogem mentah di pipi Nina hingga gadis itu jatuh tersungkur dan bibirnya berdarah.

“Apa yang kau lakukan, Dania?” tanya Nina yang terlihat sangat syok tersebut. Seisi kelas kaget atas perubahan sikap Dania. Tak ada yang menyangka Dania bisa berbuat seperti itu.

“I’m not Dania!” jawab Dania sambil menunjuk-nunjuk Nina dengan jari telunjuknya. “I’ve got rid of her. I’m Dea. Dea T.H or you can call me ‘death’ and you bitch, have messed up with the wrong person!”

Dea yang sekarang menguasai tubuh Dania hendak menginjak perut Nina, namun ditahan oleh para siswa. Dea pun melepaskan dirinya dari genggaman para murid kemudian meninggalkan kelas dan memutuskan untuk pulang kerumahnya. Di kelas semua murid yang menyaksikan kejadian tadi di buat bingung oleh perubahan Dania.



Sesampainya di rumah, Dea mendobrak pintu rumah Dania dan menyelonong masuk. Ternyata saat itu kakak laki-laki Dania masih berada di rumah belum berangkat ke kampus.

“Wah, cepat sekali kau pulang?” katanya dengan penuh nada hinaan. “Pihak sekolah mengeluarkanmu ya?”

“Shut up!” jawab Dea melalui mulut Dania yang terang saja membuat kakak laki-laki Dania heran sekaligus jengkel.

“Kurang ajar betul mulutmu itu!” katanya berang. Ia berjalan kearah Dania yang sekarang dikuasai Dea kemudian menampar pipi Dania. Dea jadi semakin marah lalu menerjang kakak laki-laki Dania hingga mereka terjatuh ke lantai. Dea menduduki kakak laki-laki Dania lalu mencekiknya. Kakak laki-laki Dania berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Dea terlalu kuat.

“Apa yang kau lakukan Dania?” tanyanya dengan suara yang tercekat. Wajahnya berubah jadi merah keunguan karena kesulitan bernafas.

“You must die!” jawab Dea dengan histeris sambil semakin menguatkan cekikannya. “Noone is going to save you now, not even that pathetic girl. Dania has gone forever!”

Kakak laki-laki Dania semakin meronta-ronta tapi usahanya sia-sia saja. Dea terlalu kuat dan ia sekarang sangat marah. Beberapa menit kemudian kakak laki-laki Dania meninggal dan Dea pun tertawa menakutkan.



**********



Seorang wanita berwajah lembut memasuki ruangan tempat Dania atau Dea duduk. Ia melangkah menuju meja kerjanya. Suara tumit sepatunya terdengar nyaring ketika menyentuh lantai di ruangan yang sepi tersebut. Dania atau Dea menoleh pada sang psikiater yang dibalas dengan senyuman oleh psikiater tersebut.

“Selamat pagi,” sapanya ramah tanpa menyebut nama Dea atau Dania. Ia tidak yakin siapa sekarang yang sedang mengambil alih tubuh tersebut. Tak disangka jawaban yang keluar dari mulut Dania atau Dea adalah suara tangisan yang terdengar seperti tangisan bocah laki-laki umur lima tahun. Sang psikiater menyadari bahwa Dea tidak mungkin menangis. Dea tidak pernah menangis. Ia juga sudah pernah bertemu Dania, pemilik asli tubuh tersebut tapi suara tangis Dania tidak seperti ini. Lagipula suaranya adalah suara anak laki-laki. Sang psikiater menelan ludah dan menunjukkan tatapan cemas. “Kau siapa?”

“Namaku Dani,” jawab suara tersebut diantara isakannya dengan suara kekanakan seperti suara anak TK. “Aku mau pulang. Aku mau ibu!”

Sang psikiater tampak sangat terkejut dengan jawaban tersebut. Ternyata dalam tubuh Dania masih bersemayam jiwa yang lain selain Dea. Jiwa sesosok bocah laki-laki bernama Dani.

Hanya Untuk Dinda

Pada suatu sore nan damai aku duduk di pinggiran pantai, melihat riak-riak kecil ombak yang menari dan beryanyi dengan begitu riangnya…
Aku sangat menyukai tempat-tempat yang indah dan sunyi, bagiku semua itu bisa menenangkan jiwaku yang slalu sunyi, ditemani oleh suara-suara ombak dan risik angin yang berhembus memberiku ketenangan sekaligus kebahagian yang tak bisa aku dapatkan dari tempat-tempat lain seperti Plaza dan mal-mal

Diasaat aku sedang asik menikmati indahnya hamparan biru yang terbentang luas di depanku aku tersentak oleh sesosok wajah yang aku kenal, wajah yang dulu sangat aku rindui, dan paling aku kagumi setiap hari. Tapi kini aku benci, aku takut akan wajah yang telah ngelukai aku, dan ngancurin hidup aku hingga aku berfikir kematian lebih baik…

Aku tersentak dari lamunanku saat ia memanggil namaku, aku memandangnya seolah tak percaya dengan apa yang aku liat sekarang,, ia begitu cantik masi sama seperti dulu disaat terakhir ia meninggalkanku dengan sejuta keegoisannya, tapi ada satu yang berbeda di wajahnya sorot matanya tidak seperti dulu mata yang selalu gembira dan berbinar, sekarang tatapnya kosong dan mengisyaratkan kesedihan, seandainya ia masih milikku ingin rasanya aku memeluknya dan membiarkan ia menangis di pelukanku…

Aku membisu seolah tsunami tlah meluluh lantakkan duniaku, tapi yang paling membuatku terkejut disaat aku melihat kedua matanya yang berkaca-kaca dan mulai menitikkan air mata di kedua pipinya… aku seolah tak percaya bidadariku sekarang begitu rapuh…
Kemana dinda yang dulu begitu kuat dan tegar bahkan mampu meluluh lantakkan hatiku…
Aku menarik nafas teratur dan mulai mendekatinya,, aku merasa iba melihatnya karena bagaimanapun ia adalah orang yang paling aku sayangi bahkan sampai sekarang walaw ia tlah begitu melukai hati ini..
“Nda kamu gak kenapa-kenapa… “aku bartanya” (tapi dia masi terus menangis tersedu-sedu)

Akupun hanya diam menunggunya melepaskan semua kesedihanya…
Tangisnya akhirnya mulai mereda dan aku mencoba tuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, dengan suara yang sedikit terisak-isak iapun menanyakan kemana saja aku selama ini udah satu tahun ini ia terus menungguku disini tapi aku tak pernah hadir, memang udah satu tahun ini aku tidak pernah kemana-mana aku terus mengurung diri dan mencoba untuk mengobati rasa sakit ini sendiri tanpa tempat mengadu bahkan semua orang menjauhiku disaat aku butuh bantuan.

Aku tidak mau berkomentar apa-apa karena bagiku semuanya telah berlalu aku tak mau menyalahkan keadaan atas apa yang aku alami. Aku sadar setiap orang mempunyai jalan kebenarannya masing-masing dan berhak mendapatkan yang terbaik, terindah di dalam hidupnya..

Walau menurutku aku tidak bersalah dalam hal ini bahkan aku orang yang paling terluka dan kehilangan disaat dia meninggalkan aku untuk memilih orang lain tapi aku mencoba meminta maaf karena aku akan melakukan apapun untuk orang yang aku sayangi, aku tak ingin ada penyesalan di dalam hidupnya karena tlah mendustai aku, tapi entah kenapa disaat aku memohon maaf padanya ia malah kembali menangis dan mulai merangkulku, ia meminta maaf dan terus menagis dalam pelukku seakan tak ingin melepasnya lagi… bahkan aku sampai bingung tidak tau apa yang harus aku lakukan.

Mentari telah mulai membenamkan dirinya di ufuk barat, tidak banyak yang kami bicarakan seharian ini yang kami lakukan hanya diam, terdiam, dan membisu hanya sepatah-patah kata yang terucap dengan tetesan air mata yang sarat akan rasa duka..

-- //--

Aku tersentak dari tidurku ketika aku mendengar dering lagu Plug in baby nya Muse.. yang tertera di layar ponsel adalah privat number.. aku memperhatikan jam sudah menunjukkan pukul 23.00.
Siapa sih malam-malam gini ganggu orang tidur, aku membatin..
Lalu dalam keadaan masi setengah sadar aku mengangkat ponselku,,
Udah ngeganggu orang tidur eh malah tu orang diam seribu bahasa.. dongkol aku dibuatnya, pengen rasanya aku maki-maki tu orang tapi aku coba sabar mana tau aja jaringan lagi jelek dia udah ngomong tapi aku ga kedengaran. Kira-kira dua menitan gitu telponnya pun terputus.
Ya udah aku tidur aja lagi, eh tapi selang beberapa detik dia call lagi.
Haloo..
Terdengar suara cewek dari seberang sana.. suara yang udah ga asing lagi di telingaku.
Ini dengan Mesa??, katanya lagi..
Iya, aku menyahut.
Ini dinda bg, dengan suara agak tertahan.
Aku tersentak ketika menendengar nama dinda di sebut.. seolah bagai di sambar geledek.. (serem banget ya di sambar geledek, kecebur di kali aja deh kog gitu, tapi kayaknya jangan juga soalnya aku gak bisa berenang). wehehe..
Dengan seribu tanda tanya aku mulai bertanya-tanya di dalam hati ada perlu apa ya dia nelpon malam malam gini..
Oa, bang apa kabarnya??
Sehat, aku menyahut walaw tau itu hanya basa-basi.
Dek sendiri gimana??
Agak kurang enakan badan bang, sahutnya dengan suara yang memang terdengar sedikit agak lemas.
Kog bisa? Udah makan dan minum obat belum?? Aku kembali bertanya seolah kami masi pacaran.. dan aku selalu kawatir kalau terjadi sesuatu kepada orang yang aku sayang.
Dia tersenyum kecil mendengar pertanyaan aku yang ga putus putus kayak kereta api, bisa aku bayangin gimana manisnya dia ketika tersenyum.. lebih kurang kayak gini : (^_^)
Abang masi kayak dulu ya kwatirnya belum berubah kalo dek lagi sakit , hehee..
Aku juga tersipu mendengar ucapannya..
BTW ada perlu apa ne malam malam gini..
Ia pun diam, apa ada yang salah ya dengan pertanyaanku tadi, aku membatin.
Aku seperti mendengar suara isak tangis dari seberang sana, memang gak begitu jelas..
Bang besok ada acara gak? bisa ga kita ketemuan??
Gak ada acara kemana-mana sih.. tapi mau ketemuan buat apa, penting ya.. tanyaku.
Bagi dek sih penting.. ia menyahut.
Yaudah kalo memang penting, dek mau ketemuan dimana and jam berapa? Tanyaku.
Tempat biasa jam 4 sore.. bisa bang..??
Bisa..
Yaudah met bobok z ya bang,, Nite..
Nite 2..

Entah kenapa jam udah nunjukin jam 12 tengah malam tapi aku ga bisa tidur lagi, mungkin karena penasaran atau berdebar karena mau ketemu orang yang special,, yang mana aja yang jelas udah ngebuat aku ga ngantuk lagi..

-- //--


Aku duduk termanggu sambil menatap laut di sore itu entah kenapa ada hal yang begitu tidak nyamannya di hati ini, tapi aku mencoba untuk tetap tenang sambil menunggu dengan perasaan bimbang..

Mentari sudah mulai membenamkan dirinya tapi dia tidak datang juga, ada rasa kecewa yang amat sangat di hati ini, tapi aku gak mau berfikir macam macam atau hal hal yang negative, aku pun bergegas pulang tapi apa yang aku liat.. dia orang yang aku tunggu dan orang yang membuat janji seolah bagai semuanya gak pernah ada dia pergi jalan dengan orang lain,, cowok lain, aku gak tau apa maksud dari semua ini., yang jelas hati ini hancur berkeping keping untuk kesikian kalinya, tapi entah kenapa aku tetap mencintainya walau dengan kepingan yang tersisa..

-- //--

Esoknya aku pergi tuk menemuinya dan menanyakan tentang masalah yang kemarin dan apa yang aku liat..

Dia meminta maaf, katanya sewaktu ia mau pergi menemuiku pacarnya wawan yang dari Bandung datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu katanya sih surprise dan dia gak mau ngecewain pacarnya..
Jadi nda tega nyakiti perasaan bg sementara dia enggak.. Tanyaku..
Sakit banget aku ngedengarnya waktu dia ngomong gitu tanpa mikirin perasaan aku sedikitpun, tanpa sadar aku meluapkan semua emosi aku,,
Apa nda tau gimana sakitnya bg waktu nda ninggalin bg karena memilih dia, apa nda pernah peduli gimana persaan bg waktu nda ngedustai bang dulu, apa nda juga tau gimana rasanya disaat apa yang telah bg lakukan untuk nda bahkan enggak pernah lebih berharga dari yang di lakukan orang lain..
Cuma satu alasannya kenapa bang rela ngelakuin semua itu, karena bang sayang sama nda, bang cinta sama nda, bang berharap suatu saat nda bakal berubah.. tapi nyatanya disaat terakhirpun nda masi nyakiti persaan bang.
Tanpa sadar lagi-lagi aku telah menyakiti bidadari kecilku, ia tertunduk sedih di hadapanku tanpa berkata apa-apa lagi, aku pun udah gak sanggup ngeliat dia kayak gitu, aku berfikir untuk ngelupain semuanya saat ini agar ia benar-benar bisa bahagia dengan orang yang di cintainya..
Tapi diasaat aku berpaling dan ingin pergi ia menarik lenganku,
“Tolong kasi nda kesempatan sekali aja untuk ngejelasin semuanya” pintanya.
Dinda sadar selama ini bang udah baik banget sama dinda, perhatian, dan selalu ada saat nda butuh.. tapi nda enggak bisa gitu aja niggalin dia bang, dia lagi sakit, jadi nda enggak mau ngecawain dia tapi nda juga belum siap untuk kehilangan bg lagi.
Nda mau bang tetap sabar nuggu nda..

Aku juga tidak bisa lagi berkata apa-apa karena aku tau aku juga sangat mencintainya..

Hari demi hari aku lewati sebagai pacar keduanya, dan dengan menyandang status backstreat, ia gak ingin ada orang lain yang tau karena ia gak mau ngelukai hati wawan. Disaat wawan enggak ada ia dekat denganku tapi disaat wawan ada aku bagai barang yang tidak dibutuhkan lagi, dan semakin lama aku ngerasa ia semakin jauh dariku ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama wawan bahkan disaat aku menelponnya karena kangen ia lebih menjaga perasaan wawan, tak jarang ia sering mengabaikan aku sepaerti membalas sms wawan disaat aku lagi berbicara dengannya, terkadang ia juga sering menutup telponku tiba-tiba karena wawan juga nelpon..
Tapi mau gimana lagi aku juga gak sanggup kehilangan dia lagi.. “aku sayang kamu nda..”

-- //--

Pagi itu aku bangun dengan perasaan yang aneh, seakan seperti kosong dan hampa..
Tapi aku gak perduli, aku tetap mandi karena aku harus kerja pagi ini, dan aku juga ada upacara hari ini, saat ingin berangkat aku melihat ada yang aneh dan gak biasa di meja makan, semua keluarga aku ada disitu, ayah, mama, adik aku yang biasanya bangun jam 12 siang, mereka ngobrol dan tertawa dengan diiringi hangatnya mentari pagi. Aku rindu saat-saat seperti ini, saat-saat dimana kami tertawa dan sarapan bersama, tapi apa boleh buat aku gak bisa berlama-lama karena aku udah telat..
Sebelum berangkat aku mencium tangan ayah dan ibu, aku pun pergi sambil mengucapkan salam dan mengatakan aku sayang mereka semua.. tanpa aku sadari air mataku menetes terharu..

-- //--

Udah seharian ini gak ada kabar atau pun sms yang masuk dari mesa, dinda merasa ada yang hilang dari dirinya. Akhirnya dinda mencoba untuk menelpon mesa tapi nomornya gak aktif, sms juga gak masuk-masuk dari tadi.. dinda mulai cemas dan memberanikan diri untuk menelpon kerumah tapi gak ada yang angkat.
Dinda memutuskan sore ini ia akan kerumah untuk menemui mesa karena ada hal serius yang ingin ia sampaikan.

Sesampainya ia di depan rumah, dinda merasa ada yang gak beres dengan persaannya, tapi ia tetap melangkah masuk..
Di dalam rumah ia melihat semua keluarga mesa berkumpul, tapi sepertinya mereka sedang berduka dan larut dalam kesedihan.. ada apa ya sebenarnya?? Ia bertanya dalam hatinya.

Selang beberapa menit Aris adiknya mesa pun keluar menemui dinda,,
Ada perlu apa kamu kemari?? Tanya aris dengan nada setengah emosi.
Saya mau ketemu mesa, mesa nya ada?? Tanya dinda.
Buat apa lu nyari dia lagi, dia udah enggak ada, kemarin dia kecelakaan..
Dan kamu udah tega nyakitin perasaannya, ada yang harus kita omongin berdua.. Kata aris. Dengan nada geram..
Sesaat ia lemas mengetahui kalo mesa udah enggak ada, air mata menetes membasahi pipinya..
Kamu boleh membohongi semua orang nda, karna ga ada yang tau apa yang selama ini udah terjadi diantara kalian.. Tapi aku tau semuanya.. kata Aris dengan suara emosi.
Kamu baca ne catatan yang mesa tulis di HP nya. pinta Aris sambil menyodorkan HP ke arah dinda.
Dindapun meraih dan membacanya..
Air mata dan kesedihan semakin bergejolak di dalam dirinya..

“Tuhan,
Bila memang rasa sakit bisa membuat dinda mencintai wawan, berikan lah aku penyakit yang lebih parah darinya..
Bila memang fonis umur yang singkat dapat membuat dinda lebih meluangkan waktunya untuk wawan, ambil lah nyawaku lebih cepat darinya..
Aku ingin cintanya hanya untukku..
Karena aku sangat menyayanginya tuhan”

Sambil terduduk lemas ia terus menangis,,
Dalam hati ia terus meratapi keegoisannya..
Padahal aku datang untuk mengatakan bahwa aku sangat mencintaimu, dan aku ingin kita sama-sama menemui keluargaku karena aku akan mengatakan selama ini aku hanya mencintai kamu mes, aku hanya iba melihat wawan..
Dan aku ingin kamu melamar aku di depan orang tua aku, agar mereka percaya bahwa kamu serius mencitai aku, walau tak akan semudah seperti yang aku harapkan tapi aku siap menerima apapun resikonya..
“kalau kita mau kita bisa melewati semuanya bersama”

Tapi semuanya sudah terlambat, waktu takkan pernah bisa diulang lagi.
Walau sekarang kamu telah tiada tapi cinta yang pernah kau tanam akan selalu hidup selamanya di dalam hatiku..
Good by Luup..


"Pelangi untuk Dinda"

Bila aku terlihat indah saat tak kau miliki,
biarkan aku menjadi mimpi.
Bila aku akan kau rindu disaat ku jauh,
biarkan ku pergi.
Bila untuk mendapat rasa sayangmu aku harus tersakiti,
maka sakiti aku sepuas hatimu.
dan Bila aku membosankan disaat telah kau miliki,
pergi dan tinggalkan aku sendiri.

Pecundang

Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang dibuat-buat-- di hadapan para tamu.

Tempat dia duduk menunggu tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih. Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.

Hampir setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit ini.

Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.

Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa. Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas birahi.

Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.

Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil dia.

Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif khusus, lebih mahal dari biasanya.

Di dalam kamar, perempuan itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.

"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.

"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.

Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero, ingin menyelamatkannya.

Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku. Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala marabahaya.

"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?" tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti teman-temanmu yang lain.."

Perempuan itu diam dan menatapku lembut.

"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya dijebak di sini oleh tante saya sendiri."

Aku kaget mendengar pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.

"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"

"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"

"Aku akan ngomong sama bosmu."

"Mustahil, Mas!"

"Mengapa mustahil?"

"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."

"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."

Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.

Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.

"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.

Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.

"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.

"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."

"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."

Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya. Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot dengan wajah menyiratkan kelicikan.

"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"

"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"

Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.

"Maksud Mas gimana?"

"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."

"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"

Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?

"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.

Si gembrot tersenyum sinis.

"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."

"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.

"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia, maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."

Si gembrot sambil menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.

Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2 juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya semula.

Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.

Maka seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya, aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada akhirnya aku hanya jadi pecundang.***

Jangan Menyebut Dua Frasa Itu

Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.
Tapi ia, juga orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan tumbuh-biak-berakar di kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid, yang menanggung kecemasan pada dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu, bergentayangan, menyusup, menyelinap, dan acapkali hadir dalam sengkarut mimpi, mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia membawa kaleidoskop peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun. Maka, ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih sebagai sebuah energi negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang menghadirkan dirinya dalam sosoknya yang energik, molek dan penuh kemegahan.

Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah, bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.

"Ingat ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!" Demikian proteksi dari yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang sesungguhnya membuat ia kian merasa cemas. Di usianya yang susut, ia justru merasa kekangan-kekangan datang menelikung. Tak hanya kekangan fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-kefanaan tubuhnya sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari orang-orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia untuk mengetahui rasa asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya pepatah-petitih di lidah mereka.

Tapi, di saat yang lain, ia merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian bergaram di lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka, orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan, terlepas begitu saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka ucapkan di merata ruang, merata waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai dalam percakapan di kedai kopi. Dan setelahnya, secara tersurat, memang tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak terjadi, seperti layaknya ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.

"Datuk kan bisa melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk yang bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis semua rumah-rumah penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah, kalau Datuk memang tak ingin melihat anak-cucu-cicit datuk porak-poranda, ya sebaiknya Datuk jangan sesekali menyebut dua frasa itu. Dan Datuk tak boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat bebas bisa menyebut dua frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami memang tak sebertuah lidah Datuk."

Tapi ia, si lelaki renta itu, selalu merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada badai-topan dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang tersirat. Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu, justru kini ia menyaksikan persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang, sedang menyusun kaleidoskopnya sendiri. Tengoklah, kenapa kian menjamurnya anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan anak-anak terlahir tak ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang tenggen, mengganja, dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi dalam tubuh mereka. Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa robot, atau bahkan kerbau dungu, atau serupa mesin-mesin yang bergerak cepat tak berarah, membabi-buta. Akibatnya, kampung nelayan yang serupa tempurung ini, kini lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua yang pengap, sebuah ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus beban masa depan.

Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang terjadi. Jaring Batu hanyalah sebuah sebab, yang membuat perahu-perahu dibakar, orang-orang diculik, dipukul, dan perang saudara kemudian membangun tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang Pambang dan orang-orang Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa bahwa mereka sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan mereka para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi kini mereka telah menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.

Peristiwa buruk lain yang kini melanda adalah timbulnya beragam penyakit yang aneh. Penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan hanya dengan tusukan jarum suntik pak mantri, dan kebal dari obat-obat generik yang dijual di kedai-kedai runcit. Dan anehnya lagi, penyakit-penyakit itu membuat si penderita seperti terkunci mulutnya untuk bisa mengucapkan dua frasa itu. Dan biasanya, ujung dari deritanya, mereka kebanyakan menjadi bisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun selain erangan.

Dan ia, si lelaki renta itu, seolah dapat memastikan bahwa sebab dari semua ini adalah karena kelancangan mereka yang menyebut dua frasa itu secara sembarangan. Tak hanya itu, dua frasa itu kini bahkan telah diperjual-belikan ke mana-mana, karena rupanya ia bernilai tinggi karena dianggap eksotis dan jadi ikon historis. Maka dua frasa itu diproduksi, seperti layaknya memproduksi kayu arang atau ikan asin. Dan anehnya, mereka tidak percaya bahwa lidah mereka sendiri sebenarnya juga bergaram. Tapi mungkin garam dengan rasa asinnya yang lain.

Sesekali ia, lelaki renta itu, pernah juga melemparkan saran, "Sebenarnya kalian juga tak boleh menyebut dan memperlakukan dua frasa itu secara sembarangan. Buruk padahnya nanti." Tapi, saran dari seorang renta yang bersuara parau, bagi mereka, hanya bagai suara gemerisik semak dalam hutan. Dan mereka selalu menjawab dalam bisik yang sumbang, "Maklum, masa mudanya tak sebahagia kita…"
***
Tapi di malam yang mendung itu, ia tak menduga tiba-tiba segerombolan orang secara agak memaksa, membawanya ke tepian laut. Lelaki renta itu bingung, kenapa orang-orang yang biasanya selembe saja padanya, kini demikian bersemangat memintanya untuk ikut bersama mereka. Apakah ada sebuah perayaan? Setahu ia, di sepanjang bulan ini tak ada perayaan hari besar maupun perayaan adat. Dan, kalaupun ada, biasanya ia lebih sering tidak diundang, karena mungkin dianggap telah demikian uzur, atau mungkin kehadirannya membuat orang-orang muda tak bebas berekspresi, karena pastilah terkait dengan pantang-larang.

Sesampainya di tepian laut, ia menyaksikan orang-orang telah duduk bersila, sebagian bersimpuh, di atas pasir hitam. Mereka tampak tertunduk demikian hikmat. Di bibir pantai, terlihat beberapa buah perahu yang berbaris, seperti barisan meriam yang moncongnya mengarah ke laut, siap diluncurkan. "Ah, inilah satu frasa itu, yang tampaknya akan dilayarkan ke satu frasa yang lain," pikir lelaki renta itu. Dan ia langsung dapat menduga bahwa akan ada sebuah upacara pengobatan tradisional. Tapi siapa yang sakit?

Seorang muda, tiba-tiba seperti berbisik ke telinga lelaki renta itu. "Datuk, kami mengundang Datuk ke sini untuk meminta Datuk supaya bisa mengobati kami semua." Lelaki renta yang dipanggil Datuk itu agak terkejut. Keningnya berkerut. Ia tidak melihat ada gejala atau tanda-tanda bahwa orang-orang yang berada di sini dalam keadaan sakit. Yang tampak olehnya adalah sekumpulan besar orang yang seperti sedang berdoa. Tapi pemuda itu berbisik lagi, "Datuk, kami semua yang berkumpul di sini sedang menderita penyakit bisu. Sebagian mereka telah benar-benar bisu dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sebagian kecil yang lain, termasuk saya, tak bisa mengucapkan dua frasa itu, Datuk. Sementara untuk melakukan upacara ini tentu harus mengucapkan dua frasa itu kan, Datuk? Untuk itu, kami semua meminta Datuk untuk melakukan prosesi pengobatan… …pengobatan…pengobatan…tak bisa Datuk, saya betul-betul tak bisa mengucapkannya." Lidah pemuda itu seperti tersangkut saat hendak menyebut sebuah frasa.

Lelaki renta itu seperti tak percaya. Tapi kepalanya tampak mengangguk-angguk perlahan. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda, dan membalas berbisik, "Anak muda, kalian pernah melarangku untuk mengucapkan dua frasa itu. Kini kalian juga yang meminta aku untuk mengucapkannya. Apakah kalian tak takut badai topan yang akan menyerang? Kalian tak takut maut?"

Pemuda itu tertunduk ragu. Tak lama kemudian berbisik kembali. "Datuk, kami semua pasrah. Kalaulah ditakdirkan untuk menerima badai topan, dan kami harus mati karenanya, mungkin itu akan lebih baik daripada kami harus hidup membisu, dan tak bisa mengucapkan dua frasa itu…"

Bibir lelaki renta itu mengguratkan senyum. Ia kini tak yakin bahwa ia akan mampu bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya. Paling tidak di dalam hatinya, ia senantiasa mengucapkan dua frasa itu menjadi sebuah kalimat, Lancang Kuning yang tersesat di tepian Selat Melaka.***

Berhenti Berharap

Hujan makin lama makin lebat. Seorang gadis baru sahaja memasuki 7 Eleven, sambil menjinjit beg. Hmm, beg untuk kain sembahyang, bisikku. Huh, Zarina, adakah aku sudah nekad untuk mengatakannya? Di satu sudut, aku bersendiri, merenung tindakan yang bakal dilewati.

Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi
Sudut gelap hati ini

******************************

“Meminang ni bukan benda main-main, kalau dah bertunang tu sudah terikat kiranya tau!”, Berapa das anak panah kat telinga aku sudah terkena leteran mak aku.

“Mak, itu tanda saya ikhlas, bukan anggap benda ini main-main”, aku cuba mempertahankan diriku.

“Kamu dah kenal sangat dengan perempuan tu?’, giliran bapa aku yang menyoal.

“Belum sepenuhnya, tapi saya tahu, dia terbaik buat saya”, balasku perlahan.

“Kenali dirinya dengan keluarganya, selidiki terlebih dahulu, sebelum dirimu menyesal di kemudian hari. Kelak bertunang, tiada sesalan buatmu”, ayat itu nyata membuatkan lidahku kelu untuk berkata.

“Bukan kami menghalang niatmu, tapi beringat sebelum melakukan apa-apa, memohon petunjuk dariNya, dan yang penting, sediakan diri kamu dulu”, sambung bapaku.

Rebahkan tangguhmu
Lepaskan perlahan
Kau akan mengerti
Semua…

******************************

“Assalammualaikum”, kataku sebaik sahaja memasuki 7 Eleven itu.

“Waalaikumsalam, oh, Azmi, ni nak beli apa lagi?”, balas Zarina, sambil tersenyum. Cantik, bisikku.

“Hari-hari membeli, bankrap saya nanti, tapi hari ni saya tak nak membeli, tapi nak meminta”, sengihku. Argh, ayat berterabur, lain nak dicakap, lain pula terkeluar.

“Minta? Ish, ada-ada saja awak ni, kalau kedai ni saya punya, sure, dengan kedai ni saya bagi”, gelak Zarina, tapi nyata gelaknya seketika cuma, setelah melihat wajahku yang tidak tenteram itu.

“Awak ok tak ni? Nak beli panadol? Musim hujan kan sekarang”, sambung Zarina. Hairan melihat reaksi aku yang sedemikian rupa.

“Zarina, tujuan saya ke sini, boleh tak saya minta alamat rumah awak”, soalku dalam resah.

“Erk? Nak buat apa alamat rumah? Takkan awak nak bagi Tv Lcd dengan saya? Wah, best ni, berapa inci?”, Aduh, ni saja-saja buat tak faham ka pula?

“Saya serius ni, saya nak pinang awak, saya tak tahu bila, tapi sekurang-kurangnya, ada alamat, mudah lah kerja saya, kan?”, dup dap dup dap, apalah reaksi dia ni.

“Jangan main-mainlah, sampai ke situ pula, ni memang nak panadol kan?”, Zarina, adakah anda cuba berdalih?

“Saya cakap benda betul ni, saya tak main-main. Tiada makna nak permainkan benda yang baik, saya ikhlas, betul ni”, aku cuba menyakinkannya. Zarina terkedu seketika. Entah apa yang bermain d fikirannya.

“Tapi, kenapa saya? Bukankah banyak lagi gadis yang lebih baik dari saya?”, Aku tersenyum mendengarnya.

“Awak, memang banyak gadis yang baik, tapi tak semestinya saya boleh bandingkan mereka dengan awak. Yang hanya mampu saya katakan, mata ini lebih kearahmu, dan biarlah saya memulakan langkah untuk ke arah yang baik, sebelum ianya terpesong dari niat asal”, terangku dengan panjang lebar.

Zarina hanya tunduk. Kemudian baru dia bersuara sambil tersenyum “Saya tinggal di Taman Mawar, itu yang mampu saya katakan, uppss, macam setuju pula”.

“Dah, jangan bergurau, awak ni suka sangat main kan?”, Sambung Zarina.

“Saya serius ni, saya tak main-main”, aduhai, bagaimana lagi hendak ku yakinkan dia ini?

“Iya? Ok”, gelak Zarina.

******************************

Kau ajarkan aku bahagia
Kau ajarkan aku derita
Kau tunjukan aku bahagia
Kau tunjukan aku derita
Kau berikan aku bahagia
Kau berikan aku derita

Hujan masih lebat, berterusan membasahi diriku. Belum ada kata putus darinya, tapi memang aku rasa seolah-olah tiada harapan. Setapak demi setapak aku melangkah, kehairanan melihat aku bermandikan hujan. Hujan, bgiku engkau rahmat yang menemaniku.

Aku berhenti berharap
Dan menunggu datang gelap
Sampai nanti suatu saat
Tak ada cinta kudapat
Kenapa ada derita
Bila bahagia tercipta
Kenapa ada sang hitam
Bila putih menyenangkan

Adakah ini pengakhirannya buatku? Biarlah, aku redha apa yang berlaku. Ku berserah kepadaNya, biarlah diri ini, berhenti berharap.

Aku pulang…
Tanpa dendam
Ku terima kekalahanku

“Assalammualaikum”, tiba-tiba satu suara menegurku.

“Waalaikumsalam”, balasku kehairanan, rupanya seorang budak kecil yang memberi salam. Mukanya seperti pernah kulihat, tapi aku kurang pasti di mana.

“Abang ni ok tak?”, soalnya. “Mestilah ok, kenapa?”, ish, dari mana asal budak ni aku pun tak tahu.

“Abang jangan nak tipu, dosa. Ala, cool la bang, akak tu pun tak cakap tidak tadi, dia tu cuma berserah jodohNya dengan Allah. Kalau benar dia tercipta untuk abang, InsyaAllah, tak ke mana. Janganlah sampai nak berhenti berharap. Selagi dia belum ketemu seseorang, berharaplah, cuma jangan melebih”, Erk? Aku kena ceramah ka ni?

“Kalau akak tu baik sangat, abang kenalah jadi baik, sebab, yang baik adalah untuk yang baik. Berusaha menjadi yang terbaik, supaya taraf abang dengan akak tu sama di luh mahfuz, jika benar akak itu yang abang idamkan. Lagipun abang kan dah usaha, tinggal doa dan tawakal menjadi senjata”, menyambung lagi dia.

“Yang penting, jangan jadi nakal. Pantang dengar ada gadis kiut, mula mencari lah tu. Abang jangan jadi macam saya tau”, katanya sambil berlalu pergi.

Hmm, kalau dah cakap begitu, dah tahulah siapa. Namun, aku mengiyakan katanya, jangan berhenti berharap!

SCemanoti : Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Kehadiran Dajjal

Dajjal Sudah Ada di Sebuah Pulau

penulis Al-Ustadz Qomar ZA Lc
Syariah Kajian Utama 01 - Oktober - 2007 08:57:29

Asy-Sya’bi rahimahullahu mengatakan kepada Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha: “Beri aku sebuah hadits yg kamu dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg tdk kamu sandarkan kepada seorang pun selain beliau.” Fathimah mengatakan: “Jika engkau memang menghendaki akan aku lakukan.” “Ya berikan aku hadits itu” jawab Asy-Sya’bi.
Fathimah pun berkisah: “Aku mendengar seruan orang yg berseru penyeru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru ‘Ash-shalatu Jami’ah’. Aku pun keluar menuju masjid lantas shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku berada pada shaf wanita yg langsung berada di belakang shaf laki-laki. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalat mk beliau duduk di mimbar dan tertawa seraya mengatakan: ‘Hendak tiap orang tetap di tempat shalatnya.’ Kemudian kembali berkata: ‘Apakah kalian tahu mengapa aku kumpulkan kalian?’ Para sahabat menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lbh tahu.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan: ‘Sesungguh –demi Allah- aku tdk kumpulkan kalian utk sesuatu yg menggembirakan atau menakutkan kalian. Namun aku kumpulkan kalian krn Tamim Ad-Dari. Dahulu ia seorang Nasrani lalu datang kemudian berbai’at dan masuk Islam serta mengabariku sebuah kisah sesuai dgn apa yg aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masih Ad-Dajjal.
Ia memberitakan bahwa ia naik kapal bersama 30 orang dari Kabilah Lakhm dan Judzam. Lalu mereka dipermainkan oleh ombak hingga berada di tengah lautan selama satu bulan. Sampai mereka terdampar di sebuah pulau di tengah lautan tersebut saat tenggelam matahari. Mereka pun duduk perahu-perahu kecil. Setelah itu mereka memasuki pulau tersebut hingga menjumpai binatang yg berambut sangat lebat dan kaku. Mereka tdk tahu mana qubul dan mana dubur- krn demikian lebat bulunya. Mereka pun berkata: ‘Apakah kamu ini?’ Ia menjawab: ‘Aku adl Al-Jassasah.’ Mereka mengatakan: ‘Apa Al-Jassasah itu?’ Ia : ‘Wahai kaum pergilah kalian kepada laki2 yg ada rumah ibadah itu. Sesungguh ia sangat merindukan berita kalian.’ Tamim mengatakan: ‘Ketika dia menyebutkan utk kami orang laki2 kami khawatir kalau binatang itu ternyata setan.’ Tamim mengatakan: ‘Maka kami pun bergerak menuju kepada dgn cepat sehingga kami masuk ke tempat ibadah itu. Ternyata di dlm ada orang yg paling besar yg pernah kami lihat dan paling kuat ikatannya. Kedua tangan terikat dgn leher antara dua lutut dan dua mata kaki terikat dgn besi. Kami katakan: ‘Celaka kamu apa kamu ini?’ Ia menjawab: ‘Kalian telah mampu mengetahui tentang aku. mk beritakan kepadaku siapa kalian ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami ini orang2 dari Arab. Kami menaiki kapal ternyata kami bertepatan mendapati laut sedang bergelombang luar biasa sehingga kami dipermainkan ombak selama satu bulan lama sampai kami terdampar di pulaumu ini. Kami pun naik perahu kecil lalu memasuki pulau ini dan bertemu dgn binatang yg sangat lebat dan kaku rambutnya. Tidak diketahui mana qubul- dan mana dubur krn lebat rambut. Kamipun mengatakan: ‘Celaka kamu apa kamu ini?’ Ia menjawab: ‘Aku adl Al-Jassasah.’ Kamipun berta lagi: ‘Apa Al-Jassasah itu?’ Ia malah menjawab pergilah ke rumah ibadah itu sesungguh ia sangat merindukan berita kalian. mk kami pun segera menujumu dan kami takut dari binatang itu. Kami tdk merasa aman kalau ternyata ia adl setan.’
Lalu orang itu mengatakan: ‘Kabarkan kepadaku tentang pohon-pohon korma di Baisan.’
Kami mengatakan: ‘Tentang apa engkau meminta beritanya?’
‘Aku berta kepada kalian tentang pohon korma apakah masih berbuah?’ katanya.
Kami menjawab: ‘Ya.’
Ia mengatakan: ‘Sesungguh hampir-hampir ia tdk akan mengeluarkan buahnya. Kabarkan kepadaku tentang danau Thabariyyah.’
Kami jawab: ‘Tentang apa engkau meminta beritanya?’
‘Apakah masih ada airnya?’ jawabnya.
Mereka menjawab: ‘Danau itu banyak airnya.’
Ia mengatakan: ‘Sesungguh hampir-hampir air akan hilang. Kabarkan kepadaku tentang mata air Zughar1.’
Mereka mengatakan: ‘Tentang apa kamu minta berita?’
‘Apakah di mata air itu masih ada airnya? Dan apakah penduduk masih bertani dgn airnya?’ jawabnya.
Kami katakan: ‘Ya mata air itu deras air dan penduduk bertani dengannya.’ Ia mengatakan: ‘Kabarkan kepadaku tentang Nabi Ummiyyin apa yg dia lakukan?’
Mereka menjawab: ‘Ia telah muncul dari Makkah dan tinggal di Yatsrib .’
Ia mengatakan: ‘Apakah orang2 Arab memeranginya?’
Kami menjawab: ‘Ya.’
Ia mengatakan lagi: ‘Apa yg dia lakukan terhadap orang2 Arab?’ mk kami beritakan bahwa ia telah menang atas orang2 Arab di sekitar dan mereka taat kepadanya.
Ia mengatakan: ‘Itu sudah terjadi?’
Kami katakan: ‘Ya.’
Ia mengatakan: ‘Sesungguh baik bagi mereka utk taat kepadanya. Dan aku akan beritakan kepada kalian tentang aku sesungguh aku adl Al-Masih. Dan hampir-hampir aku diberi ijin utk keluar sehingga aku keluar lalu berjalan di bumi dan tdk ku tinggalkan satu negeri pun kecuali aku akan turun pada dlm waktu 40 malam kecuali Makkah dan Thaibah kedua haram bagiku. Setiap kali aku akan masuk pada salah satu malaikat menghadangku dgn pedang terhunus di tangan menghalangiku darinya. Dan sesungguh pada tiap celah ada para malaikat yg menjaganya.’
Fathimah mengatakan: ‘Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dgn menusukkan tongkat di mimbar sambil mengatakan: ‘Inilah Thaibah inilah Thaibah inilah Thaibah2 yakni Al-Madinah. Apakah aku telah beritahukan kepada kalian tentang hal itu?’
orang2 menjawab: ‘Ya.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguh cerita Tamim menakjubkanku di mana sesuai dgn apa yg kuceritakan kepada kalian tentang serta tentang Makkah dan Madinah. Ketahuilah bahwa ia berada di lautan Syam atau lautan Yaman- tdk bahkan dari arah timur. Tidak dia dari arah timur. Tidak dia dari arah timur. Tidak dia dari arah timur -dan beliau mengisyaratkan dgn tangan ke arah timur-.’
Fathimah mengatakan: “Ini saya hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

1 Nama sebuah daerah di Syam.
2 dlm riwayat lain beliau mengatakan: “Dan itu adl Dajjal.”

Pahlawan Muslim

Menumbangkan Jagoan Romawi

Pahlawan Islam terkemuka yang lain adalah seorang laki-laki yang hidup pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Orang itu dijuluki sebagai ahli tipu daya perang, keberanian, dan kehebatan. Dia bernama Ibnu Al-Jazari.

Al-Qurtubi dalam kitab tarikhnya berkata, “Suatu hari, Harun Al-Rasyid keluar bersama pasukannya untuk menyerbu Konstantinopel dengan kekuatan 130 ribu orang mujahid pasukan berkuda, jumlah yang besar itu tidak termasuk sukarelawan, para remaja, dan pelayan (yang bertugas menyediakan logistik untuk para mujahidin pen.). Penguasa Konstantinopel waktu itu bernama Ya’fur bin Istabraq.

Setibanya di Konstantinopel, kaum muslimin melakukan pengepungan terhadap Konstansinopel, hingga penduduk kota itu merasakan kesempitan dan kesukaran hidup yang amat hebat. Dan hampir saja kaum muslimin berhasil merebut Konstantinopel dari tangan kaum kafir. Maka Ya’fur keluar berjalan menemui Al-Rasyid untuk meminta perjanjian damai dan rela membayar jizyah bahkan dari tangannya sendiri, anak keturunannya serta seluruh penduduk negeri. Ditambah lagi, Ya’fur akan membayar seluruh biaya yang dikeluarkan kaum muslimin sejak keluar dari Baghdad hingga mendekati Konstantinopel dan ditambah pula dengan hadiah-hadiah yang akan menyenangkan hati kaum muslimin. Juga yang sangat penting, Ya’fur berjanji akan membebaskan seluruh kaum muslimin yang tertawan dan dipenjarakan di seluruh negerinya. Harun Al-Rasyid pun memilih untuk menyelamatkan darah kaum muslimin yang tertangkap, sehingga beliau memutuskan untuk menerima tawaran Ya’fur. Selanjutnya Ya’fur akan mengeluakan jizyah sebesar lima 500.000 dinar (uang emas) kepada Al-Rasyid. Untuk menyeselaikan urusan tersebut, Al-Rasyid memerintahakan salah seorang komAndan pasukan mujahidin untuk mengambil harta jizyah, membebaskan kaum muslimin yang tertawan dan mengambil hadiah dari Ya’fur. Medengar adanya perjanjian tersebut, kaum muslimin merasakan kegembiaraan yang sangat besar waktu itu.

Kemudian Al-Rasyid kembali menuju negeri Islam. Ketika sampai di daerah Riqqah, Harun Al-Rasyid menderita sakit sehingga diputuskan untuk berhenti. Kabar tentang sakitnya Al-Rasyid sampai ke telinga Ya’fur, maka dia berbuat khianat dengan tidak menepati janji terhadap kaum muslimin. Tidak ada satu pun pelaksanaan dari isi perjanjian yang telah dia tetapkan sendiri. Kaum muslimin mengetahui peristiwa tersebut, akan tetapi mereka tidak berani menyampaikan pengkhianatan Ya’fur atas Harun Al-Rasyid dikarenakan sakit yang beliau derita. Hingga ketika beliau sembuh dari sakit, barulah beberapa penyair dari kaum muslimin menyampaikan beberapa bait syair, yang isinya memberitahukan kepada Al-Rasyid bahwa Ya’fur telah melakukan pengkhianatan terhadap kaum muslimin. Lalu Al-Rasyid bertanya tentang peristiwa sebenarnya, maka kaum muslimin menyampaikan berita tentang pengkhianatan Ya’fur. Segera Harun Al-Rasyid memerintahkan para mujahidin untuk kembali menyerbu Konstantinopel. Mereka kembali berjalan sehingga sampai di daerah Harqalah. Kemudian Al-Rasyid berkata, “Tidak akan meminta jizyah dari mereka, sampai aku mampu menaklukan negeri ini.”

Abu Ishaq Al-Fazari berkata kepada beliau, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Harqalah ini adalah salah satu benteng terbesar dan terkuat dari benteng-benteng yang dimiliki musuh, dan kita tidak akan mampu menaklukannya kecuali setelah usaha yang sangat keras. Jikalau Anda berusaha untuk menaklukannya, maka pasukan kaum muslimin tidak mencukupi. Akan tetapi jika Anda tidak berusaha menaklukan Harqalah, maka hal itu merupakan kehinaan atas agama kita, mengurangi kekuasaan, Anda dan menjadi aib bagi seluruh kaum muslimin.” Sehingga atas hasil musyawarah dengan seluruh komAndan pasukan, diambillah keputusan agar Amirul Mukminin memasuki sebuah ktoa besar terdekat yang dikuasai kaum muslimin terlebih dahulu. Kemudian beliau meminta bantuan penduduk muslim untuk menambah jumlah kekuatan sehingga mencukupi untuk menaklukan Konstantinopel, kemudian menaklukan benteng Harqalah dan benteng-benteng lain.

Ibnu Mukhallad berkata, “Benteng Harqalah ini merupakan benteng yang sangat besar dan mereka memiliki banyak benteng yang serupa dengan benteng ini. Apabila kita mampu menaklukannya, maka orang kafir itu pasti akan terhina. Dan tidak akan ada seorang pun yang tersisa kecuali tunduk di bawah kekuasaan Amirul Mukminin.” Kemudian Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan peralatan berupa manjanik yang berjumlah banyak serta mempersiapkan diri menghadapi pertempuran. Ketika pasukan telah siap, maka beliau mengirim Abdullah bin Abdul Malik bersama pasukannya menuju negeri Romawi yang kemudian berhasil menawan serta membunuh banyak musuh dan membawa harta ghanimah yang tidak sedikit. Beliau juga mengutus Daud bin Ali untuk menyerbu negeri Romawi dengan membawa 70.000 pasukan berkuda. Mereka berhasil menawan, membunuh banyak sekali musuh dan membawa ghanimah yang tidak sedikit pula. Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid juga mengirim Syurahbil bin Mu’an bersama pasukanya, yang kemudian berhasil menaklukan benteng Ash-Shaqalah. Beliau juga mengutus Zaid bin Mukhallad bersama sepasukan mujadhidin untuk menguasai benteng Shafshaf. Beliau mengutus Jamil bin Ma’ruf beserta para mujahidin untuk membakar benteng-benteng musuh, membunuh banyak sekali pasukan kafir dan membawa 17.000 tawanan perang ke hadapan Amirul Mukminin.

Selanjutnya Al-Rasyid tinggal bersama dengan para mujahidin di dalam benteng Harqalah selama tujuh belas hari. Beliau merasa sempit dengan tinggalnya beliau dalam benteng tersebut dan semakin menipisnya perbekalan. Beliau mengadukan keadaan ini kepada para penasihat beliau. Al-Fazari berkata, “Saya telah memberikan nasihat kepada Amirul Mukminin sebelumnya, akan tetapi Anda tetap teguh pendirian. Saya sampaikan kembali bahwa saat ini kita tidak mempunyai jalan lain, walaupun kita nantinya harus terbunuh. Saya akan memberikan beberapa nasihat yang jika Amirul Mukminin bersedia menerimanya, saya harap semoga Allah memberikan kemenangan dan pertolongan.” Al-Rasyid berkata, “Kalau begitu katakanlah! Kami tidak akan menyelisihi pendapatmu, dari awal sampai akhir.”

Kaum muslimin pun diperintahkan untuk memotong pepohonan, memindahkan bebatuan, dan kepada seluruh pasukan disampaikan bahwa Amirul Mukminin berkeinginan untuk bertempat tinggal di dalam benteng Harqalah. Oleh karena itu, hendaklah setiap pasukan Islam membangun tempat tinggal di dalam benteng.
Ibnu Al-Jazari Menumbangkan Jagoan Romawi

Setelah semua rencana dijalankan, dimulailah pertempuran melawan tentara Romawi dengan usaha merebut benteng Anwah. Dan jalannya peperangan semakin berkecamuk. Mendekati siang Al-Rasyid tertidur, peperangan juga mereda. Saat itulah pintu benteng terbuka dan dari dalamnya seorang laki-laki Romawi keluar dengan membawa persenjataan lengkap serta mengendarai seekor kuda yang sangat gagah. Laki-laki itu berteriak dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih, “Wahai orang-orang Arab, keluarkanlah dua puluh jagoan kalian yang ahli mengendarai kuda untuk menghadapi aku.” Akan tetapi tidak ada seorangpun pasukan Islam yang maju menghadapinya, karena melihat Al-Rasyid sedang tidur (sehingga kaum muslimin tidak berani memberikan keputusan melangkahi pendapat Amirul Mukminin pen.). Tidak ada seorang pun yang memberanikan diri untuk membangunkan beliau. Orang Romawi itu terus berkeliling di antara dua kelompok besar pasukan, sambil terus meneriakkan tantangan kepada kaum muslimin. Keadaan seperti itu menyebabkan timbulnya kegaduhan dan rasa takut di kalangan pasukan Islam, akibatnya goncanglah barisan kaum muslimin. Peristiwa itu menyebabkan orang-orang Romawi tertawa dan merasa sangat gembira, lalu terlihat laki-laki yang tadi menantang masuk ke dalam benteng dengan perasaan bangga. Ketika Al-Rasyid akhirnya terbangun, beliau diberitahukan tentang peristiwa yang baru saja dialami kaum muslimin. Mendengar kabar tentang peristiwa yang baru saja dialami kaum muslimin, beliau merasa sangat terganggu, menyesal, hatinya risau, dan kemudian beliau bangun, berdiri, lalu duduk kembali. Selanjutnya Amirul Mukminin Harun Al-Rasyid bertanya, “Kenapa kalian tidak membangunkan aku? Dan kenapa salah seorang dari kalian tidak maju untuk menghadapinya?” Beberapa pasukan Islam berkata, “Kelengahan mereka (dengan kejadian tadi pen.) akan mendorong orang Romawi itu keluar dari benteng mereka esok hari.” Dan malam harinya Al-Rasyid tidak mampu memejamkan mata.

Pagi harinya, laki-laki Romawi itu keluar lagi seraya meneriakkan tantangan sebagaimana yang dia lakukan kemarin. Harun Al-Rasyid berkata, “Keluarkanlah dua puluh orang pasukan berkuda menghadapi orang itu.” Mendengar ucapan Amirul Mukminin, Ibnu Mukhallad berkata, “Demi Allah, Wahai Amirul Mukminin, cukup satu orang saja yang menghadapinya. Jika dia mampu mengalahkan orang Romawi itu, maka alhamdulillah. Akan tetapi apabila dia terbunuh, maka dia terbunuh sebagai syahid. Dengan begitu orang Romawi yang lain tidak akan mendengar bahwa seorang pasukan Romawi harus dihadapi oleh dua puluh orang pasukan Islam.” Al-Rasyid berkata, “Benarlah apa yang engkau katakan.” Pada saat itu di dalam barisan kaum muslimin terdapat seorang pejuang yang bernama Ibnu Al-Jazari yang terkenal dengan keberanian dan kekuatannya. Dia berkata, “Aku yang akan keluar untuk menghadapi orang itu dan aku memohon kepada Allah semoga Dia menurunkan pertolongan-Nya kepadaku.”

Kemudian Al-Rasyid memerintahkan seseorang untuk mempersiapkan kendaraan perang dan persenjataan untuk Ibnu Al-Jazari, akan tetapi Ibnu Al-Jazari berkata, “Aku tidak membutuhkannya.” Maka Al-Rasyid hanya mendoakan kemenangan dan memberikan nasihat agar Ibnu Al-Jazari selalu waspada. Kemudian bergeraklah dua puluh orang pasukan Islam bersama Ibnu Al-Jazari untuk mengawalnya.

Ketika pasukan Islam sampai di tengah lembah (antara dua pasukan pen.), orang Romawi itu berkata, “Wahai orang Islam, kalian berbuat curang. Aku meminta kalian untuk mengeluarkan dua puluh jagoan kalian, akan tatapi yang datang menghadapiku berjumlah dua puluh satu orang.” Salah seorang pasukan Islam menjawab teriakan Romawi, “Yang akan menghadapimu hanya satu orang. Kami hanyalah mengantar orang ini dan kami akan segera kembai.” Si kafir Romawi berkata, “Aku telah memohon kepada Allah, semoga aku berhadapan dengan Ibnu Al-Jazari.” Ibnu Al-Jazari berkata, “Benar, aku Ibnu Al-Jazari.” Si kafir Romawi menjawab, “Wahai teman, aku merasa cukup puas berhadapan denganmu.”

Kembalilah dua puluh orang pasukan Islam menuju barisannya dan mulailah kedua jagoan bertarung. Pertarungan berlangsung dengan seru dan melelahkan. Sedangkan kaum muslimin dan orang-orang musyrikin memperhatikan jalannya bertarungan dengan hati berdebar. Tiba-tiba terlihat Ibnu Al-Jazari bergerak menghantam musuh. Keadaan itu menyebabkan hati orang-orang musyrikin mulai khawatir dan terkoyak, sedangkan kaum muslimin terlihat gaduh karena peristiwa itu. Ibnu Al-Jazari semakin menguasai keadaan, dia mampu mengurung musuh dengna serangannya dan akhirnya tumbanglah si kafir Romawi dari pelana kudanya. Dan tidaklah tubuh Romawi itu menyentuh tanah, kecuali saat itu kepalanya telah terpisah dari badan. Maka bertakbirlah kaum muslimin dengan suara yang seakan-akan mampu meruntuhkan gunung. Akibatnya, tercerai berailah barisan musyrikin. Kemudian kaum muslimin memulai peperangan dengan semangat tinggi. Dan akhirnya benteng Anwah berhasil dikuasai dengan membawa korban dan tawanan yang sangat banyak dari pihak Romawi.

Ketika Ibnu Al-Jazari datang menghadap Al-Rasyid, maka Al-Rasyid mendudukkan di hadapannya. Selanjutnya Ibnu Al-Jazari diberi harta rampasan yang sangat banyak sehingga hampir saja dia tidak mampu membawanya, akan tetapi Ibnul Jazari menolak semua pemberian tersebut.

Selanjutnya Al-Rasyid bersama para mujahidin bergerak menuju Konstantinopel mendengar gerakan pasukan Islam, para uskup dan penjaga bergegas menghadap Amirul Mukminin untuk memohon ampunan serta belas kasihan atas kelancangan penguasa Romawi Ya’fur. Mereka berjanji bahwa hari itu juga mereka akan menepati semua perjanjian mereka dengan kaum muslimin keluar dari Baghdad hingga Konstantinopel dan memberikan hadiah kepada kaum muslimin. Para uskup dan pendeta terus memohon dengan merendahkan diri di hadapan kaum muslimin. Bahkan mereka sujud dan meletakkan dahi mereka pada permukaan tanah. Hingga akhirnya permohonan belas kasihan mereka diterima oleh kaum muslimin. Selanjutnya Al-Rasyid tetap bertahan di tempat pemberhentiannya selama beberapa saat sehingga semua tuntutan kaum muslimin terpenuhi. Orang-orang Nasrani kemudian menyerahkan tiga 300.000 dinar (uang emas) setiap tahun ditambah 50.000 dinar jizyah setiap tahun kepada kaum muslimin. Ditambah syarat lain yaitu orang-orang Nasrani tidak diperbolehkan mendiami perbentengan baik di Harqalah ataupun benteng lain.

Ketika Amirul Mukminin Al-Rasyid dan seluruh pasukan Islam telah bersiap untuk kembali ke Baghdad, penguasa Romawi Ya’fur menulis sebuah surat untuk Al-Rasyid yang berbunyi,

“Kepada Amirul Mukminin, seorang hamba Allah dan khalifah-Nya, dari Ya’fur penguasa Romawi.

Keselamatan semoga terlimpahkan kepada Anda, wahai penguasa agung, Amma ba’du,

Saya mempunyai hajat yang sederhana, remeh, dan tidak membahayakan agama Anda. Saya telah meminang seorang gadis yang merupakan anak perempuan dari penduduk Harqalah untuk dinikahkan dengan anak laki-laki saya. Apabila Anda menemukan gadis itu, maka saya memohon sudi kiranya Anda mengampuni dan mengirimkannya kepada kami agar hajat keluarga saya terlaksana. Semoga Anda mendapatkan limpahan karunia kebaikan dan keutamaan. Kemudian apabila Anda sudi menambah dengan memberikan kepada saya salah satu tenda perkemahan Anda (untuk perayaan pernikahan pen.), maka Anda lebih berhak untuk memutuskan. Selanjutnya saya memohon agar kedatangan gadis tersebut nantinya diiringi oleh para pendeta.”

Setelah membaca surat tersebut Al-Rasyid memerintahkan pasukan Islam untuk mencari keberadaan gadis yang dimaksud oleh Ya’fur. Setelah akhirnya ditemukan, maka Al-Rasyid memberikan kepadanya perbekalan yang baik dan mencukupi. Selanjutnya dipersiapkan iring-iringan yang panjang untuk mengantarnya. Al-Rasyid juga memberikan kepadanya permadani yang dihiasi dengan tilam emas dan perak. Ditambah berbagai wewangian yang menyemarakkan bau udara. Mendapat perlakuan seperti itu, maka Ya’fur merasa sangat gembira. Dia membalasnya dengan mengirimkan beberapa keledai yang berisi kekayaan yang berlimpah sebagai bukti ketundukannya kepada Amirul Mukminin. Seekor keledai membawa kekayaan mencapai sebanyak lima puluh ribu dirham (uang perak). Seekor keledai lain membawa banyak sekali kain sutera yang berhiaskan tilam perak yang merupakan kain paling mahal saat itu. Sekelompok keledai lain yang membawa banyak pakaian-pakaian pemburu, dua belas ekor elang pemburu dan beberapa ekor anjing pemburu yang mampu menangkap singa. Serta tiga ekor kuda khusus penarik beban. Keseluruhan harta fai’ tersebut segera dibagikan oleh Al-Rasyid kepada pasukan Islam. Sehingga ketika pulang menuju Baghdad, hanya dengan sekali peristiwa perang itu, kaum muslimin mampu menambah perbendaharaan. Baitul Mal sebanyak 3.100.000 dinar. Akhirnya kaum muslimin kembali dengan membawa kemenangan, kegembiraan, keberuntungan dan harta ghanimah yang sangat berlimpah.
Kisah ini saya kutip dari Rekan saya yang ada di FB . tanks banget yha gan.