skip to main |
skip to sidebar
Home »
Unlabelled »
Pecundang
Akhirnya aku kembali ke tempat ini. Aku tidak bisa menahan perasaanku
untuk tidak menemuinya lagi. Aku hanya ingin melihatnya dari jarak yang
agak jauh, dari tempat yang agak terlindung. Dari balik malam, dengan
leluasa aku bisa melihatnya tertawa dan tersenyum --tawa dan senyum yang
dibuat-buat-- di hadapan para tamu.
Tempat dia duduk menunggu
tamu cukup terang bagi mataku, meski tempat itu hanya ditaburi cahaya
merah yang redup. Aku masih bisa merasakan pancaran matanya yang pedih.
Aku merasa dia sedang memperhatikan aku. Aku berusaha bersembunyi di
balik kerumunan para pengunjung yang berseliweran di luar ruangan. Tapi
sejenak aku ragu, apakah benar dia melihatku? Ah, jangan-jangan itu
hanya perasaanku saja. Aku yakin dia kecewa dengan aku. Dia kecewa
karena aku gagal membawanya pergi dari tempat ini.
Hampir
setiap malam aku mengunjungi tempat ini hanya untuk melihatnya dari
kegelapan dan memastikan dia baik-baik saja. Aku seperti mata-mata yang
sedang mengintai mangsanya. Atau mungkin aku seorang pengecut yang tidak
berani menunjukkan batang hidung setelah kegagalan yang menyakitkan
hatiku. Atau bisa jadi aku telah menjadi pecundang dari kenyataan pahit
ini.
Biasanya aku akan datang sekitar jam delapan malam. Aku
memarkir motor di kegelapan dan berjalan perlahan menuju tempat dia
biasa menunggu tamu. Jelas aku tidak akan berani masuk ke dalam ruangan
yang pengab dengan asap rokok dan bau minuman itu. Aku terlanjur malu
dengan dia. Makanya, aku hanya berani berdiri di luar, di dalam
kegelapan, dengan tatapan mata yang sangat awas yang tertuju pada
ruangan di mana dia duduk santai sambil mengepulkan asap rokoknya.
Seringkali aku dibakar api cemburu ketika ada lelaki yang
menghampirinya dan merayunya. Api cemburu itu semakin menjadi-jadi
ketika dia juga meladeni lelaki yang merayunya dengan senyum dan tawa.
Dan hatiku benar-benar hangus ketika kulihat dia masuk ke dalam biliknya
ditemani lelaki itu. Saat itu juga batok kepalaku dipenuhi berbagai
pikiran-pikiran buruk. Ya, sudah jelas, di dalam bilik sederhana itu
mereka akan bergulat, bergumul, dan saling terkam dalam dengus napas
birahi.
Ah, sebenarnya tidak begitu. Itu hanya pikiran-pikiran
burukku saja. Aku tahu dia perempuan lugu yang terjebak dalam situasi
seperti itu. Semacam anak kijang yang masuk perangkap pemburu.
Aku merasa aku telah jatuh hati padanya. Kamu tahu, bagaimana proses
jatuh hati itu kualami? Baiklah, akan kuceritakan untukmu. Saat itu aku
diajak oleh kawan karibku datang ke tempat ini. Kawanku itu menemui
langganannya. Sedang aku hanya bengong-bengong di ruangan sambil minum
kopi. Seorang ibu paruh baya menghampiriku. Dengan mata genit ibu itu
mengatakan padaku kenapa aku tidak masuk kamar? Aku bilang bahwa aku
lagi ingin sendiri, lagi ingin menikmati suasana saja. Ibu itu
mengatakan ada yang baru, masih belia, baru datang dari kampung. Ibu itu
bilang usianya baru 15 tahun. Dalam hati aku tertarik juga dengan
perkataan ibu itu. Wah, masih belia sekali? Aku jadi ingin tahu kayak
apa perempuan yang dibilang belia itu? Ibu tua itu kemudian memanggil
dia.
Sehabis mandi, ibu tua itu mengantar perempuan itu
kepadaku. Dengan malu-malu perempuan ingusan itu duduk di sebelahku. Dia
hanya diam dan tidak berkata-kata. Wajahnya manis dan memang masih bau
kencur. Entah anak siapa yang disesatkan ke tempat seperti ini. Ibu tua
itu menyuruhku segera mengajaknya masuk kamar, tentu dengan tarif
khusus, lebih mahal dari biasanya.
Di dalam kamar, perempuan
itu masih diam, tak banyak bicara. Dari wajah kekanak-kanakannya
terpancar perasaan cemas dan keragu-raguan. Aku jadi iba melihat
tingkahnya yang memelas itu. Aku segera mencegah saat dia hendak
melucuti busananya. Dia bingung dengan tingkahku.
"Saya harus melayani tamu saya," jelasnya.
"Aku tak perlu dilayani. Aku hanya ingin ngobrol denganmu. Dan aku akan
tetap membayar sesuai tarif yang telah disepakati," ujarku.
Aku menatap wajah yang lugu itu. Entah kenapa aku jadi tidak tega dan
merasa simpati dengan dia. Mungkin aku terjebak pada pancaran matanya
yang begitu diliputi kepolosan sekaligus kecemasan. Aku telah mengenal
sejumlah perempuan yang bekerja seperti ini. Tapi dengan perempuan satu
ini, aku merasakan dalam diriku bangkit suatu keinginan menjadi hero,
ingin menyelamatkannya.
Aku mendekapkan kepalanya ke dadaku.
Aku membelai-belai rambutnya yang sebahu. Tiba-tiba saja aku merasa
menjadi seorang kakak yang ingin melindungi adiknya dari segala
marabahaya.
"Mengapa kamu bisa berada di tempat seperti ini?"
tanyaku lirih. "Seharusnya kamu menikmati masa-masa sekolahmu, seperti
teman-temanmu yang lain.."
Perempuan itu diam dan menatapku lembut.
"Saya tidak tahu, Mas. Saya diajak oleh tante saya ke sini. Saya
dijanjikan pekerjaan dengan gaji yang menggiurkan. Tapi ternyata saya
dijebak di sini oleh tante saya sendiri."
Aku kaget mendengar
pengakuannya yang memilukan itu. Diam-diam dalam hatiku, rasa kasihan
perlahan menjelma rasa simpati dan keinginnan untuk mengasihinya.
"Kamu ingin pergi dari tempat ini?"
"Ya, jelas, Mas. Tapi bagaimana caranya saya bisa pergi dari sini?"
"Aku akan ngomong sama bosmu."
"Mustahil, Mas!"
"Mengapa mustahil?"
"Mas tidak paham situasi di sini. Sekali perempuan terjebak dalam tempat ini, maka seumur hidup akan berkubang di sini."
"Tidak. Aku akan menyelamatkanmu. Kamu harus melanjutkan sekolahmu. Dan
kamu mesti cari kerja yang lebih bagus dari kerja begini."
Perempuan bau kencur itu menundukkan kepalanya. Matanya memancarkan harapan, harapan bagi sebuah kebebasan.
Aku cium keningnya. Aku bisikkan beberapa patah kata agar dia bersabar
dan tabah. Aku ke luar dari bilik dengan perasaan gundah.
"Gimana, Mas? Bagus, kan?" Ibu paruh baya itu berdiri di depan pintu dan mengerlingkan mata genit ke arah mataku.
Tiba-tiba saja aku ingin muntah melihat tampang ibu genit itu.
"Aku ingin ngomong sama bosmu," ujarku dengan nada agak geram.
"Ada apa, Mas? Apa servisnya tidak memuaskan ya...? Wah, kalo gitu saya akan lapor ke bos."
"Jangan. Bukan masalah itu. Ada yang aku ingin bicarakan sama bosmu. Tolong panggil dia."
Perempuan paruh baya kepercayaan bos itu tergopoh-gopoh menemui bosnya.
Tak berapa lama, dia muncul kembali mengiringi perempuan agak gembrot
dengan wajah menyiratkan kelicikan.
"Ada apa, Mas? Apa dia tidak melayani Mas dengan baik?"
"Bukan masalah itu, Bu. Kira-kira kalau aku ingin mengajak dia keluar dari sini, gimana?"
Wajah perempuan gembrot yang licik itu seketika berubah curiga.
"Maksud Mas gimana?"
"Aku ingin mengajak dia pergi dari sini."
"Kalau begitu Mas harus menebusnya Rp 5 juta, gimana?"
Aku terkesiap. Gila benar si gembrot ini. Mengapa aku mesti menebusnya
sebanyak itu? Bukankah setiap orang berhak memilih kebebasannya?
"Kenapa aku mesti menebus sebanyak itu? Dia bukan barang mati. Dia manusia yang memiliki kebebasannya," ujarku geram.
Si gembrot tersenyum sinis.
"Mas ini kayak tidak mengerti aja. Dia berada di bawah pengawasan dan
tanggung jawab saya. Tantenya telah menitipkan dia pada saya."
"Kalau begitu, kamu tidak berhak menjual dia dengan mempekerjakan dia
sebagai pelacur," ujarku semakin geram melihat tingkah si gembrot.
"Hidup makin sulit Mas. Semua orang perlu uang dan sekarang ini segala
sesuatu diukur dengan uang. Begini saja Mas. Kalau Mas mau membawa dia,
maka Mas sediakan uang Rp 5 juta. Itu saja."
Si gembrot sambil
menggerutu pergi meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Sejenak
aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku pun pergi meninggalkan
tempat itu dengan perasaan luka. Sepintas kulihat mata perempuan yang
ingin kuselamatkan itu berkilat basah menatap kepergianku.
Beberapa hari kemudian aku berusaha mendapatkan uang sebanyak itu untuk
menebus dia. Aku berusaha meminjam kepada kawan-kawanku. Namun usaha
kerasku hanya berbuah kesia-siaan. Aku hanya bisa mengumpulkan Rp 2
juta. Aku kembali ke tempat itu dan mencoba tawar-menawar dengan si
germo gembrot, tapi sia-sia belaka. Si gembrot tetap pada pendapatnya
semula.
Aku merasa kecewa dengan diriku sediri. Aku tidak
berdaya menyelamatkan dia. Aku tidak habis-habisnya mengutuki diriku
sendiri, mengapa aku tidak berkesempatan jadi orang kaya.
Maka
seperti saat ini, setiap malam aku hanya bisa menatap dia dari kegelapan
malam. Sambil menahan hatiku yang hampir hangus dibakar cemburu, aku
melihat dia bercengkerama dengan para tamu. Sepertinya dia bahagia
dengan pekerjaan yang dijalaninya. Setiap melihat senyum dan tawanya,
aku merasa bersalah sekaligus kecewa dengan diriku sendiri. Pada
akhirnya aku hanya jadi pecundang.***
0 komentar:
Posting Komentar