Jiwa yang Lain (oleh Dina Á-Norn Nasution)

Mungkin tak pernah dibayangkan oleh Dania bahwa ia akan mengalami hal ini. Duduk diam di dalam sebuah ruangan, terbalut jubah pasien menunggu seorang psikiater menggali masa lalunya mencari-cari apa penyebab ia menjadi seperti ini. Semua ini bermula sekitar enam bulan yang lalu, yah, sebenarnya kalau mau dirunut lebih jauh, semua ini disebabkan sejak bertahun-tahun yang lalu, ketika Dania masih TK atau mungkin bahkan jauh sebelum ia masuk TK.



Dania adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ia memiliki kakak laki-laki yang usianya dua tahun lebih tua darinya. Orang tua Dania lebih mengutamakan anak laki-laki dibanding anak perempuan sehingga Dania harus selalu mengalah pada kakaknya walaupun ia lebih kecil. Tiap kali Dania melakukan kesalahan, orang tuanya akan langsung memarahinya sedangkan jika kakaknya yang melakukannya, mereka hanya akan diam atau hanya memarahinya sekedar saja. Kakak laki-laki Dania sadar betul bahwa ia adalah anak kesayangan dan hal ini membuatnya selalu menindas Dania. Jika Dania membalas, ayah atau ibunya pasti akan menghukumnya dan jika ia mengadu, orang tuanya hanya akan berkata, “Kakakmu kan cuma main-main, jangan cengeng dong.” Perlakuan ini tentu saja membuat Dania kecil merasa sangat tidak berharga dan membuatnya memiliki sikap penakut dan pengalah, dan karena hal itu pula, diam-diam Dania sering berharap bahwa ia adalah anak laki-laki agar orang tuanya sayang juga padanya seperti mereka menyayangi kakak laki-lakinya

Dania kecil tak pernah punya teman. Itu karena ia memang seorang anak kecil pendiam yang tak pandai bergaul dan ini sering membuatnya dijauhi dan kesepian. Terkadang ia ingin sekali bergabung dengan teman-temannya yang sedang asik bermain, tapi ia terlalu takut, atau mungkin lebih tepat malu. Setiap kali ada yang mengajaknya bermain, Dania malah berlari dan bersembunyi sambil mengintip dari kejauhan. Melihat tingkah anehnya ini, para anak laki-laki sering mempermainkan Dania. Mereka akan menakut-nakutinya dengan cerita hantu yang kadang akan membuat Dania menangis atau bahkan lebih parah lagi mengompol. Sejak itu ia sering dijuluki Dania si Tukang Ngompol. Dania yang malang.

Ketika SD, Dania bertekad berubah. Ia tidak ingin dipanggil Dania si Tukang Ngompol lagi. Ia berjanji pada dirinya bahwa ia akan berusaha berbaur dengan siapapun dan tidak jadi penakut lagi. Pada saat kelas satu hingga kelas tiga semuanya berjalan normal. Dania mungkin tidak memiliki banyak teman, tapi setidaknya ia tidak selalu sendirian lagi dan ia tidak jadi bahan olok-olokan di sekolah itu, hingga suatu hari di pertengahan kelas tiga, seseorang dari masa lalunya pindah ke sekolah itu. Namanya Nina. Ia adalah salah satu teman Dania ketika di TK dulu. Dania panik, ia takut rahasianya terbongkar dan seisi sekolah akan menghinannya lagi seperti dulu.

Setelah memperkenalkan diri, sang wali kelas menyuruh Nina memilih tempat duduknya. Saat itu memang ada tiga kursi yang kosong, setelah Nina melihat pada ketiga kursi tersebut, ia tersenyum ketika melihat Dania. Ia ingat pada Dania dan tanpa pikir panjang langsung duduk di bangku di depan Dania.

“Hai,” sapanya ramah. “Kau Dania kan? Masih ingat aku? Aku Nina temanmu di TK dulu.

“Y...ya,” jawab Dania gugup. “Tentu saja aku ingat.”

Ketika bel istirahat berbunyi, semua teman sekelas Dania mengerumuni Nina. Nina memang cantik dan ia pandai bergaul jadi tak sulit baginya mendapatkan teman. Dalam sekejap ia sudah mendapatkan banyak teman, bahkan teman sebangku Dania yang sudah ia anggap sebagai sahabat pun lebih memilih bermain dengan Nina. Sekarang Dania sendirian lagi karena semua sibuk mengerumuni Nina. Dania hanya bisa pasrah.

“Tukang ngompol!” Tiba-tiba pada suatu hari Dania dikejutkan oleh ejekan itu. Ternyata salah satu teman sekelasnya yang menghinanya. Dania kaget bukan main. Awalnya ia mengira bahwa ia salah dengar, tetapi tak lama temannya yang lain ikut-ikutan menghinanya. Dania panik. Ia pun berlari keluar kelas sambil menangis.

Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya, membuat Dania kaget. Ternyata Nina yang menghampirinya.

“Maaf ya,” katanya lembut dengan nada penuh penyesalan. “Aku ga nyangka kalau bakal jadi kayak gini. Aku waktu itu cuma cerita tentang masa-masa di TK aja dan ga sengaja bilang kalau kamu dulu tukang ngompol. Maafin aku ya.”

Dania menyeka air matanya dan tersenyum. “Ga pa-pa,” katanya. “Ga pa-pa.”

Sejak saat itu, Dania dan Nina selalu bersama-sama, tapi mereka tidak tampak seperti sepasang sahabat, melainkan seperti pembantu dan majikan. Nina sering minta tolong ini-itu pada Dania dengan cara bicaranya yang memelas dan manis, dan Dania akan selalu menurutinya walaupun hati kecilnya sebenarnya tidak ingin melakukannya. Dania benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terlalu takut untuk marah pada Nina karena semua orang menyukai Nina, dan itu berarti jika Dania memusuhi Nina, maka ia akan dimusuhi semua orang.

Pada saat masuk SMP, Dania tak juga lepas dari cengkeraman Nina. Nina memilih masuk SMP yang sama dengan Dania dan bahkan ia merengek pada orang tuanya agar meminta pada kepala sekolah supaya ia dimasukkan pada kelas yang sama dengan Dania. Sebenarnya alasannya sederhana, Dania pintar dan Nina sudah biasa mencontek padanya. Maka Dania yang tampak seperti kerbau yang dicucuk hidungnya hanya bisa menjadi bayang-bayang Nina. Seperti biasa Nina selalu menjadi yang disukai oleh semua orang dan sekarang ia juga jadi kesayangan guru karena ia selalu bisa menjawab pertanyaan guru dan nilai ujiannya bagus-bagus, tentu saja atas bantuan Dania.

Dania yang semakin terpuruk hanya bisa diam, tapi itu hanya di luarnya saja. Jauh di dalam pikirannya, ia menciptakan seseorang yang bisa melindunginya. Ia memberi nama tokoh tersebut Dea T.H. Dalam bayangannya Dea adalah seorang perempuan tangguh yang tidak takut apapun dan hampir selalu menggunakan bahasa Inggris jika sedang berbicara. Dalam pikirannya ia membuat Dea sebagai sosok yang egois, kuat, pemberani, tidak perduli pada apapun dan siapapun, tidak takut pada apapun dan siapapun dan juga kejam. Dengan Dea inilah Dania sering memainkan percakapan. Setiap kali Dania merasa takut atau lemah, maka ia akan memunculkan sosok Dea dalam benaknya. Dea akan memarahinya dan menyuruhnya agar ia berani dan juga agar ia mau berusaha untuk membela dirinya. Dea juga sangat membenci Nina, hal yang tidak pernah berani dilakukan oleh Dania.

Semakin lama pengaruh Dea semakin besar. Tiap kali Dania ada masalah dan kemudian menangis, Dania akan memunculkan Dea yang pastinya akan memarahi kelemahan Dania. Tak ada yang mengetahui perihal Dea bahkan orang tua Dania sekalipun. Bagi Dania Dea adalah teman terbaiknya. Dania sadar bahwa Dea hanya khayalannya saja, tapi seiring waktu, Dea seolah menjadi kian hidup dan nyata dan Dania sangat menikmati keberadaan Dea.

Sekarang Dania sudah duduk di kelas dua SMA. Ia masih bersama-sama dengan Nina. Sampai kapanpun sepertinya Nina tidak ingin melepaskan Dania. Kemana Dania pergi, pasti Nina selalu ada. Sialnya Nina bukannya membawa peran positif tapi negatif dan cenderung merusak. Nina adalah seorang kleptomania yang suka sekali mencuri benda-benda kecil terutama lipstik dan setiap kali melakukan aksinya, ia akan menyuruh Dania manyimpan barang curiannya. Dania ingin sekali mengatakan ‘tidak’ tapi selalu saja kata itu tertahan di tenggorokannya dan tidak jadi keluar. Dania takut sekali jika nanti ia yang akan kena getahnya. Setiap kali Nina menyuruh Dania mengantongi barang curiannya, Dania selalu berteriak dalam hati berharap Dea akan keluar dan membantunya mengatakan ‘tidak mau’ hanya itu yang ia inginkan, tapi bagaimanapun Dania akhirnya sadar bahwa Dea hanya imajinasinya dan ia sendirian dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi dirinya.



Suatu hari pada awal semester dua di kelas tiga, Nina mengajak Dania pergi ke mall sepulang sekolah. Dania sudah bisa menebak bahwa Nina ingin melakukan hobinya lagi dan seperti biasa, Dania hanya bisa menganggukkan kepalanya walau dengan enggan seperti seseorang yang sedang terhipnotis.

Ketika tiba di mall, Nina langsung menuju konter kosmetik dan melihat-lihat lipstik yang ada di konter tersebut. Matanya langsung menyorotkan kerakusan ketika melihat lipstik-lipstik yang terpajang tersebut. Dania yang pasrah hanya bisa berjalan menunduk di samping Nina. Dalam hati dia menjerit memanggil Dea. Ia tahu Dea tak akan pernah datang, tapi ia tetap menjerit dan terus menjerit. Seketika lamunannya buyar dan ia kembali pada kenyataan ketika sebuah benda kecil mendarat di genggamannya. Ternyata Nina sudah mengambil lipstik yang ia inginkan dan sekarang telah ia berikan pada Dania untuk dikantongi oleh Dania.

Dania dan Nina bersiap-siap pergi hingga tiba-tiba seorang satpam menggenggam erat lengan Dania.

“Ada apa ini pak?” tanya Dania kaget. Keringat dingin pun membasahi pelipisnya ketika tahu bahwa ia di tangkap oleh satpam.

“Saya tadi melihat adik memasukkan sebuah benda kecil yang belum dibayar yang saya duga adalah lipstik,” tuduh satpam itu datar.

“Bapak jangan mengada-ada,” bela Nina. Dania merasa senang sekali karena Nina mau membelanya.

“Ikut saja dulu ke kantor untuk pemeriksaan,” kata satpam tersebut sambil menyeret Dania. Nina pun mengikuti mereka dari belakang dengan perasaan was-was.



**********



“Ini apa?” tanya sang satpam sambil mengacungkan lipstik curian Nina tanpa belas kasihan ketika ia melakukan pemeriksaan di ruangannya. “Masih mau mengelak?”

“Tapi itu bukan...”

“Maafkan teman saya, Pak,” Nina memotong pembelaan Dania. “Saya sudah mencoba mengingatkannya untuk tidak melakukan hal itu, tapi tidak bisa. Dia punya penyakit kleptomania, Pak. Saya mohon maafkan dia, Pak. Dia tidak sadar akan apa yang dilakukannya.”

Kontan saja sekujur tubuh Dania jadi dingin. Rasanya darahnya turun hingga ke kakinya. Nina sudah berbohong dan melimpahkan kesalahannya pada Dania. Sekali lagi Dania membuka mulutnya mencoba untuk membela dirinya tapi Nina langsung menggenggam erat tangannya dan menatapnya dengan pandangan memelas yang diartikan oleh sang satpam dengan tatapan prihatin.

“Baiklah,” kata satpam tersebut pada Dania. “Saya akan melepaskan kamu, tapi kamu harus menyuruh orang tuamu datang kesini sekarang juga untuk memberikan jaminan.”

Dania terbelalak kaget. Tak bisa ia bayangkan bagaimana marah dan kecewanya orang tuanya nanti jika tahu bahwa Dania mencuri, perbuatan yang bahkan sama sekali tidak ia lakukan. Ia ingin berteriak mengatakan yang sebenarnya tapi tetap tidak bisa sehingga ia pun akhirnya hanya bisa menangis. Nina yang duduk di sampingnya hanya bisa mengusap punggung Dania sambil menunjukkan ekspresi keprihatinan palsu. Dalam hati ia merasakan kelegaan yang luar biasa karena ia terbebas dari hukuman. Tidak salah selama ini ia membawa Dania setiap kali ia ingin melakukan aksinya. Nina tahu Dania tidak akan berani membantahnya sehingga iapun selalu memanfaatkan kepengecutan Dania untuk kepentingan pribadinya.

Di rumah Dania dimarahi habis-habisan oleh kedua orang tuanya, parahnya lagi, kakaknya ikut-ikutan memanas-manasi kedua orang tuanya sehingga ia semakin terpojok. Dania tidak mau bersusah payah mengeluarkan pembelaan karena ia tahu apapun yang ia ucapkan pasti tidak akan merubah keadaan. Setelah puas memarahi Dania, ayahnya pun menyuruh Dania masuk kamar untuk merenungkan perbuatannya.

Di kamarnya Dania berhenti menangis. Ia duduk menyandar pada tembok di atas tempat tidurnya sambil menatap kosong. Dalam keheningan tiba-tiba ia mendengar seseorang mencemoohnya.

“You stupid girl!” kata suara itu.

“Dea?” tanya Dania tidak yakin.

“Yeah, it’s me moron!” jawab suara itu lagi dengan ketus.

“Ga mungkin!” Dania menggelengkan kepalanya. “Kau hanya imajinasiku saja! Kau tidak nyata!”

“Yeah, but I’m better than you,” jawabnya lagi dengan sombong. “I’m much better!”

“Kalau kau memang lebih baik, kenapa kau tidak muncul saat kubutuhkan?” tanya Dania frustasi. “Kenapa kau malah muncul sekarang? Kau juga pengecut! Seharusnya kau datang menolongku tadi!”

“You never let met to do that, remember?” jawab suara itu lagi. “You just called me but never wanted me!”

“Kau salah!” jawab Dania lantang walau dalam bisikan. Ia tidak ingin orang tuanya mendengar ia bicara sendirian. “Aku selalu membutuhkanmu, tapi sekarang tidak lagi! Pergi sana!”

“Suit yourself,” jawab Dea dengan nada tidak peduli. “But remember, one day, I’ll take charge and I’ll vanish you!”

“Coba saja kalau berani!” tantang Dania, namun tak ada lagi jawaban.



Berita tentang tertangkapnya Dania yang sedang mengutil tersebar dengan cepat di sekolah seperti wabah Black Death menjangkiti Eropa. Hampir semua orang tahu kejadian itu, dan tentu saja Nina si biang kerok tidak mau berusaha meluruskan cerita tersebut. Ia menikmati perlakuan kagum dari teman-teman sekelas mereka karena ia sudah berusaha membela Dania di hadapan satpam. Entah siapa yang menyebarkan cerita itu, tapi Dania yakin, Nina lah yang sudah menceritakannya dan akhirnya cerita itu menyebar dari mulut ke mulut.

“Eh, si pencuri dah datang!” seru salah seorang teman sekelas Dania dan Nina dengan nada mengejek yang sangat kentara. “Jaga tas kalian, nanti ada barang-barang yang hilang lagi.”

“Orang tuamu terlalu miskin ya makanya kau tidak bisa membeli barang semurah itu?” cemooh yang lainnya. Dania hanya bisa diam dan menunduk di bangkunya.

“Ga seharusnya deh dia dibiarin sekolah disini lagi,” terdengar bisikan-bisikan dari murid-murid lainnya.

“Kok kau masih mau berteman dengan dia sih?” tanya seorang murid. “Kan cuma bikin malu aja berteman dengan seorang maling kampungan kayak dia.”

“Sudah!” seru Nina dengan lagak heroik. “Kalian tidak boleh menghina Dania seperti itu! Dia tidak sepenuhnya salah. Dia punya kelainan di otaknya dan itu bukan kejahatan. Kita sebagai temannya seharusnya membantunya agar kembali ke jalan yang benar, bukan menjauhinya!”

“Tapi tetap aja kita harus mewaspadainya,” komentar salah satu murid.

“Walaupun begitu...”

Seketika seluruh suara terasa senyap bagi Dania. Ia tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Kepalanya pusing dan pandangannya seolah kabur. Saat itu pula tak disangka Dania berdiri dengan sigap dan berjalan menghampiri Nina yang masih mengoceh, lalu setelah itu ia mendaratkan bogem mentah di pipi Nina hingga gadis itu jatuh tersungkur dan bibirnya berdarah.

“Apa yang kau lakukan, Dania?” tanya Nina yang terlihat sangat syok tersebut. Seisi kelas kaget atas perubahan sikap Dania. Tak ada yang menyangka Dania bisa berbuat seperti itu.

“I’m not Dania!” jawab Dania sambil menunjuk-nunjuk Nina dengan jari telunjuknya. “I’ve got rid of her. I’m Dea. Dea T.H or you can call me ‘death’ and you bitch, have messed up with the wrong person!”

Dea yang sekarang menguasai tubuh Dania hendak menginjak perut Nina, namun ditahan oleh para siswa. Dea pun melepaskan dirinya dari genggaman para murid kemudian meninggalkan kelas dan memutuskan untuk pulang kerumahnya. Di kelas semua murid yang menyaksikan kejadian tadi di buat bingung oleh perubahan Dania.



Sesampainya di rumah, Dea mendobrak pintu rumah Dania dan menyelonong masuk. Ternyata saat itu kakak laki-laki Dania masih berada di rumah belum berangkat ke kampus.

“Wah, cepat sekali kau pulang?” katanya dengan penuh nada hinaan. “Pihak sekolah mengeluarkanmu ya?”

“Shut up!” jawab Dea melalui mulut Dania yang terang saja membuat kakak laki-laki Dania heran sekaligus jengkel.

“Kurang ajar betul mulutmu itu!” katanya berang. Ia berjalan kearah Dania yang sekarang dikuasai Dea kemudian menampar pipi Dania. Dea jadi semakin marah lalu menerjang kakak laki-laki Dania hingga mereka terjatuh ke lantai. Dea menduduki kakak laki-laki Dania lalu mencekiknya. Kakak laki-laki Dania berusaha melepaskan diri, tapi cengkeraman Dea terlalu kuat.

“Apa yang kau lakukan Dania?” tanyanya dengan suara yang tercekat. Wajahnya berubah jadi merah keunguan karena kesulitan bernafas.

“You must die!” jawab Dea dengan histeris sambil semakin menguatkan cekikannya. “Noone is going to save you now, not even that pathetic girl. Dania has gone forever!”

Kakak laki-laki Dania semakin meronta-ronta tapi usahanya sia-sia saja. Dea terlalu kuat dan ia sekarang sangat marah. Beberapa menit kemudian kakak laki-laki Dania meninggal dan Dea pun tertawa menakutkan.



**********



Seorang wanita berwajah lembut memasuki ruangan tempat Dania atau Dea duduk. Ia melangkah menuju meja kerjanya. Suara tumit sepatunya terdengar nyaring ketika menyentuh lantai di ruangan yang sepi tersebut. Dania atau Dea menoleh pada sang psikiater yang dibalas dengan senyuman oleh psikiater tersebut.

“Selamat pagi,” sapanya ramah tanpa menyebut nama Dea atau Dania. Ia tidak yakin siapa sekarang yang sedang mengambil alih tubuh tersebut. Tak disangka jawaban yang keluar dari mulut Dania atau Dea adalah suara tangisan yang terdengar seperti tangisan bocah laki-laki umur lima tahun. Sang psikiater menyadari bahwa Dea tidak mungkin menangis. Dea tidak pernah menangis. Ia juga sudah pernah bertemu Dania, pemilik asli tubuh tersebut tapi suara tangis Dania tidak seperti ini. Lagipula suaranya adalah suara anak laki-laki. Sang psikiater menelan ludah dan menunjukkan tatapan cemas. “Kau siapa?”

“Namaku Dani,” jawab suara tersebut diantara isakannya dengan suara kekanakan seperti suara anak TK. “Aku mau pulang. Aku mau ibu!”

Sang psikiater tampak sangat terkejut dengan jawaban tersebut. Ternyata dalam tubuh Dania masih bersemayam jiwa yang lain selain Dea. Jiwa sesosok bocah laki-laki bernama Dani.

0 komentar:

Posting Komentar