skip to main |
skip to sidebar
Home »
Unlabelled »
Jangan Menyebut Dua Frasa Itu
Yang hidup di tepi laut, tak takut menyambut maut.
Tapi ia, juga orang-orang yang tubuhnya telah lama tertanam dan
tumbuh-biak-berakar di kampung nelayan ini, adalah sekelompok paranoid,
yang menanggung kecemasan pada dua frasa. Dua frasa ini merupa hantu,
bergentayangan, menyusup, menyelinap, dan acapkali hadir dalam sengkarut
mimpi, mengganggu tidur. Dan saat bayangannya hadir, ia membawa
kaleidoskop peristiwa-peristiwa buruk, yang menyerang, datang beruntun.
Maka, ketahuilah bahwa dua frasa itu sesungguhnya kini hadir lebih
sebagai sebuah energi negatif yang primitif, selain bahwa ia juga sedang
menghadirkan dirinya dalam sosoknya yang energik, molek dan penuh
kemegahan.
Tapi mampukah ia, si renta yang bermulut tuah,
bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang sesungguhnya telah
demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai asin laut yang ia
cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur ke-melayu-annya.
"Ingat ya Tuk, Datuk tak boleh menyebut dua frasa itu. Bahaya!"
Demikian proteksi dari yang muda, dari cucu-cicitnya. Dan merekalah yang
sesungguhnya membuat ia kian merasa cemas. Di usianya yang susut, ia
justru merasa kekangan-kekangan datang menelikung. Tak hanya kekangan
fisik karena kerentaan yang datang dari kodrat-kefanaan tubuhnya
sendiri, tapi juga kekangan-kekangan yang kerap ia terima dari
orang-orang di luar tubuhnya. Orang-orang yang sebenarnya sangat belia
untuk mengetahui rasa asam-garam, sangat rentan terhadap patahnya
pepatah-petitih di lidah mereka.
Tapi, di saat yang lain, ia
merasa aneh. Kenapa dua frasa itu, akhir-akhir ini demikian bergaram di
lidahnya, tetapi demikian hambar di lidah orang muda? Tengoklah mereka,
orang-orang muda, mengucapkan dua frasa itu seperti angin yang ringan,
terlepas begitu saja, dan terhirup tak berasa. Dua frasa itu mereka
ucapkan di merata ruang, merata waktu. Dari ruang-ruang keluarga, sampai
dalam percakapan di kedai kopi. Dan setelahnya, secara tersurat, memang
tak ada satu pun peristiwa buruk yang tampak terjadi, seperti layaknya
ketika ia, si lelaki renta, yang mengucapkannya.
"Datuk kan
bisa melihat akibatnya, ketika dua frasa itu keluar dari mulut Datuk
yang bertuah itu. Badai topan datang menyerang dari arah laut. Habis
semua rumah-rumah penduduk. Lintang-pukang seisi kampung nelayan. Nah,
kalau Datuk memang tak ingin melihat anak-cucu-cicit datuk
porak-poranda, ya sebaiknya Datuk jangan sesekali menyebut dua frasa
itu. Dan Datuk tak boleh iri pada kami, ketika kami dengan sangat bebas
bisa menyebut dua frasa itu, karena Datuk sendiri tahu bahwa lidah kami
memang tak sebertuah lidah Datuk."
Tapi ia, si lelaki renta
itu, selalu merasakan ada yang aneh. Instingnya mengatakan bahwa ada
badai-topan dalam wujudnya yang lain yang sedang menyerang, sesuatu yang
tersirat. Sejak ia mengunci mulut untuk tidak menyebut dua frasa itu,
justru kini ia menyaksikan persitiwa-peristiwa buruk yang lain datang,
sedang menyusun kaleidoskopnya sendiri. Tengoklah, kenapa kian
menjamurnya anak-anak perempuan yang hamil luar nikah, dan anak-anak
terlahir tak ber-Ayah. Kenapa kian dahsyatnya anak-anak muda yang
tenggen, mengganja, dan saling membangun anarkhi dan istana-istana mimpi
dalam tubuh mereka. Kadang-kadang malah mereka kini tampak serupa
robot, atau bahkan kerbau dungu, atau serupa mesin-mesin yang bergerak
cepat tak berarah, membabi-buta. Akibatnya, kampung nelayan yang serupa
tempurung ini, kini lebih tampak sebagai sebuah ruang diskotek tua yang
pengap, sebuah ruang yang sedang menanggung beban masa lampau sekaligus
beban masa depan.
Dan tengoklah pertikaian demi pertikaian yang
terjadi. Jaring Batu hanyalah sebuah sebab, yang membuat perahu-perahu
dibakar, orang-orang diculik, dipukul, dan perang saudara kemudian
membangun tembok yang sangat angkuh di antara orang-orang Pambang dan
orang-orang Rangsang. Hanya egoisme sesat yang membuat mereka lupa bahwa
mereka sesungguhnya berasal dari satu rumpun, satu ras, satu suku. Dan
mereka para nelayan, yang mestinya adalah para penjaga tepian ini, tapi
kini mereka telah menjelma para nelayan yang meruntuhkan tepian ini.
Peristiwa buruk lain yang kini melanda adalah timbulnya beragam
penyakit yang aneh. Penyakit-penyakit yang tak bisa disembuhkan hanya
dengan tusukan jarum suntik pak mantri, dan kebal dari obat-obat generik
yang dijual di kedai-kedai runcit. Dan anehnya lagi, penyakit-penyakit
itu membuat si penderita seperti terkunci mulutnya untuk bisa
mengucapkan dua frasa itu. Dan biasanya, ujung dari deritanya, mereka
kebanyakan menjadi bisu, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun selain
erangan.
Dan ia, si lelaki renta itu, seolah dapat memastikan
bahwa sebab dari semua ini adalah karena kelancangan mereka yang
menyebut dua frasa itu secara sembarangan. Tak hanya itu, dua frasa itu
kini bahkan telah diperjual-belikan ke mana-mana, karena rupanya ia
bernilai tinggi karena dianggap eksotis dan jadi ikon historis. Maka dua
frasa itu diproduksi, seperti layaknya memproduksi kayu arang atau ikan
asin. Dan anehnya, mereka tidak percaya bahwa lidah mereka sendiri
sebenarnya juga bergaram. Tapi mungkin garam dengan rasa asinnya yang
lain.
Sesekali ia, lelaki renta itu, pernah juga melemparkan
saran, "Sebenarnya kalian juga tak boleh menyebut dan memperlakukan dua
frasa itu secara sembarangan. Buruk padahnya nanti." Tapi, saran dari
seorang renta yang bersuara parau, bagi mereka, hanya bagai suara
gemerisik semak dalam hutan. Dan mereka selalu menjawab dalam bisik yang
sumbang, "Maklum, masa mudanya tak sebahagia kita…"
***
Tapi di
malam yang mendung itu, ia tak menduga tiba-tiba segerombolan orang
secara agak memaksa, membawanya ke tepian laut. Lelaki renta itu
bingung, kenapa orang-orang yang biasanya selembe saja padanya, kini
demikian bersemangat memintanya untuk ikut bersama mereka. Apakah ada
sebuah perayaan? Setahu ia, di sepanjang bulan ini tak ada perayaan hari
besar maupun perayaan adat. Dan, kalaupun ada, biasanya ia lebih sering
tidak diundang, karena mungkin dianggap telah demikian uzur, atau
mungkin kehadirannya membuat orang-orang muda tak bebas berekspresi,
karena pastilah terkait dengan pantang-larang.
Sesampainya di
tepian laut, ia menyaksikan orang-orang telah duduk bersila, sebagian
bersimpuh, di atas pasir hitam. Mereka tampak tertunduk demikian hikmat.
Di bibir pantai, terlihat beberapa buah perahu yang berbaris, seperti
barisan meriam yang moncongnya mengarah ke laut, siap diluncurkan. "Ah,
inilah satu frasa itu, yang tampaknya akan dilayarkan ke satu frasa yang
lain," pikir lelaki renta itu. Dan ia langsung dapat menduga bahwa akan
ada sebuah upacara pengobatan tradisional. Tapi siapa yang sakit?
Seorang muda, tiba-tiba seperti berbisik ke telinga lelaki renta itu.
"Datuk, kami mengundang Datuk ke sini untuk meminta Datuk supaya bisa
mengobati kami semua." Lelaki renta yang dipanggil Datuk itu agak
terkejut. Keningnya berkerut. Ia tidak melihat ada gejala atau
tanda-tanda bahwa orang-orang yang berada di sini dalam keadaan sakit.
Yang tampak olehnya adalah sekumpulan besar orang yang seperti sedang
berdoa. Tapi pemuda itu berbisik lagi, "Datuk, kami semua yang berkumpul
di sini sedang menderita penyakit bisu. Sebagian mereka telah
benar-benar bisu dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dan sebagian
kecil yang lain, termasuk saya, tak bisa mengucapkan dua frasa itu,
Datuk. Sementara untuk melakukan upacara ini tentu harus mengucapkan dua
frasa itu kan, Datuk? Untuk itu, kami semua meminta Datuk untuk
melakukan prosesi pengobatan… …pengobatan…pengobatan…tak bisa Datuk,
saya betul-betul tak bisa mengucapkannya." Lidah pemuda itu seperti
tersangkut saat hendak menyebut sebuah frasa.
Lelaki renta itu
seperti tak percaya. Tapi kepalanya tampak mengangguk-angguk perlahan.
Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga pemuda, dan membalas berbisik,
"Anak muda, kalian pernah melarangku untuk mengucapkan dua frasa itu.
Kini kalian juga yang meminta aku untuk mengucapkannya. Apakah kalian
tak takut badai topan yang akan menyerang? Kalian tak takut maut?"
Pemuda itu tertunduk ragu. Tak lama kemudian berbisik kembali. "Datuk,
kami semua pasrah. Kalaulah ditakdirkan untuk menerima badai topan, dan
kami harus mati karenanya, mungkin itu akan lebih baik daripada kami
harus hidup membisu, dan tak bisa mengucapkan dua frasa itu…"
Bibir lelaki renta itu mengguratkan senyum. Ia kini tak yakin bahwa ia
akan mampu bertahan untuk tidak menyebut dua frasa itu, yang
sesungguhnya telah demikian lekat bersebati di ujung lidahnya, bagai
asin laut yang ia cecap setiap hari dan terus mengalir di air liur
ke-melayu-annya. Paling tidak di dalam hatinya, ia senantiasa
mengucapkan dua frasa itu menjadi sebuah kalimat, Lancang Kuning yang
tersesat di tepian Selat Melaka.***
0 komentar:
Posting Komentar